DaerahKota PadangPariwisataTERBARU

Pembentukan Karakter Pada Pemilihan Uda dan Uni Harus Sesuai Budaya Minangkabau

420
×

Pembentukan Karakter Pada Pemilihan Uda dan Uni Harus Sesuai Budaya Minangkabau

Sebarkan artikel ini

PADANG,RELASIPUBLIK- Praktisi Pariwisata, H. Febby Datuak Bangso mengatakan bahwa polemik seputar event pemilihan Uda dan Uni yang cukup banyak menyita ruang media online di Ranah Minang beberapa hari belakangan, cukup menjadi isu menarik. Karena ditengarai selama ini diantara pendaftar dan peserta ajang bergengsi bagi kawula muda di Sumatra Barat tersebut terindikasi adanya isu LGBT.
“Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masalah LGBT adalah salah satu permasalahan sosial yang cukup membuat Pemda Sumatra Barat kebakaran jenggot dan kerepotan untuk mencari solusi dan akar masalahnya,” ujar Febby yang akrab disapa FDB.
Menurut Febby Datuk Bangso yang saat ini sedang menyelesaikan program Doktoralnya dalam ilmu Kepariwisataan, solusi terbaik adalah menyelaraskan pemilihan Uda dan Uni tersebut dengan falsafah budaya Minangkabau. Bukan cuma secara teori di kelas pelatihan, akan tetapi dipraktekkan dalam pelaksanaan kegiatan pemilihan Uda dan Uni tersebut.
“Jika seorang calon duta wisata, Uda dan Uni hanya dikarantina di hotel mewah, diajar berbagai macam teori belaka dengan metoda pelatihan yang tidak berbasis kompetensi, maka roh falsafah budaya Minang yang melekat kepada para peserta nantinya tidak akan sesuai. Katakanlah ”Uda” yang notabene secara akan menjadi ”paga nagari” di kampung halamannya tidak akan tercapai dengan metode yang telah berlangsung seperti selama ini,” ungkap FDB.
Karena itu, lanjut FDB, diperlukan model pelatihan dengan membawa mereka langsung ke tempat dimana semestinya anak-anak muda Minang, tunas muda penerus generasi yang akan datang itu di karantina di Surau. Diajari akhlak dan ilmu agama, diajari adat istiadat Minang, belajar petatah-petitih berupa Pasambahan, diajari Silek di gelanggang sasaran, maka tentu outcome-nya akan menjadi bujang Minang yang benar-benar ”laki-laki, jantan!” sebab yang akan dipilih adalah ”Uda,” bukan peragawan atau model.
“Begitu pula dengan calon Uni. Diajak menginap di rumah gadang, diajari memasak berbagai macam jenis masakan Minang yang memang sudah sangat dikenal itu. Bukan hanya sekedar memasak, akan tetapi memahami kekayaan citarasa bumbu-bumbu khas yang dipergunakan oleh nenek moyang kita dulu dalam meracik berbagai jenis makanan. Begitu pula dengan keterampilan menyulam serta keterampilan gadih Minang lainnya sebagaimana Rohana Kudus dulu membimbing para wanita muda di Koto Gadang hampir seabad yang lalu agar kelak perempuan Minang bisa mengambil peran dalam berbagai aspek kehidupan,” terang FDB.
Dengan model seperti itu, tambah FDB, kearifan budaya leluhur minang akan melekat dalam jiwa para Uda dan Uni tersebut untuk menjamin kesinambungan budaya Minang kedepan sebagai bentuk pengejawantahan model ekowisata yang pro lingkungan, pro masyarakat serta pro wisatawan itu sendiri. Itulah sejatinya peran budaya dalam kepariwisataan, menjadi “pagar” agar nilai-nilai tradisi luhur tetap dipertahankan dalam pembangunan kepariwisataan.
“Intinya jika yang diharapkan dari kegiatan pemilihan Uda dan Uni tersebut adalah sosok yang mempunyai karakter dan kepribadian Minang, maka formatnya harus disesuaikan dengan target tersebut,” tegasnya.
Pemikiran FFB itu juga diamini oleh Osvian Putra, Master Asesor Pariwisata yang juga putra Minang asal Bukittinggi yang selama 5 tahun terakhir selalu diminta menjadi Juri pada event serupa di propinsi tetangga, Riau, yang mana di propinsi tersebut istilahnya berbeda menyesuaikan dengan kultur Melayu yaitu “Bujang-Dara.”
“Mulai dari proses awal, peserta telah diminta untuk melakukan ”self declaration” sebagai bentuk pernyataan bahwa yang bersangkutan tidak terafiliasi dengan LGBT. Nanti setelah form dikembalikan, maka akan dilakukan cek fisik yang dilakukan oleh petugas sesuai dengan jenis kelamin pendaftar. Pada tahapan tersebut jika ada yang menunjukkan gejala LGBT, maka otomatis pendaftaran tersebut akan ditolak untuk mengikuti tahapan selanjutnya. Begitu juga pada tahapan berikutnya, panitia akan “menyigi” akun-akun media sosial milik calon peserta tersebut, jika ada konten-konten atau postingan yang mengarah kepada LGBT, pasti akan ditindak lanjuti dengan interview yang melibatkan psikolog, jadi memang harus disaring secara ketat dari awal.” pungkasnya. (ms/rls-fdb)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *