Berita UtamaKabupaten Pesisir SelatanTERBARU

Konflik Panjang PT. CCI di Pesisir Selatan: Tuntutan Masyarakat dan Rahasia Alih Kelola Perusahaan

387
×

Konflik Panjang PT. CCI di Pesisir Selatan: Tuntutan Masyarakat dan Rahasia Alih Kelola Perusahaan

Sebarkan artikel ini

PESISIR SELATAN, RELASI PUBLIK – Kabar kontroversial datang dari PT. CCI (Cipta Citalaras Indonesia), perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Rawang Bubur, Nagari Bukit Buai Tapan, dan Nagari Inderapura Selatan. Dalam sorotan terkini, Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan hampir berakhir, sementara tuntutan masyarakat terkait perjanjian awal semakin memanas.

Penyebab Terjadinya Konflik PT. CCI:

Kelalaian Melaksanakan Kesepakatan: Masyarakat mengecam perusahaan karena tidak mematuhi perjanjian, terutama terkait perekrutan tenaga kerja lokal sebesar 60% dari putra daerah sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan.
Rahasia Perubahan Manajemen: Alih kelola dan transfer kepemilikan kepada investor lain terjadi tanpa pemberitahuan, menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpastian di antara pihak terlibat.

Salah satu tokoh masyarakat, Aljufri mengungkapkan kekecewaannya, “Pekerjaan inti plasma seharusnya dilakukan bersama-sama. Sayangnya, tanah plasma yang dijanjikan belum terealisasi, dan kesepakatan dengan PT. CCI dilanggar. Masyarakat merasa perlu melakukan tuntutan untuk hak yang seharusnya mereka miliki.”

Aljufri juga menyoroti kurangnya transparansi terkait pengalihan manajemen, dengan perusahaan sekarang dikatakan telah beralih ke tangan lain, bukan lagi atas nama CCI melainkan milik Bakri.

“Kami merasa tidak senang dan sakit hati terhadap perusahaan. Masyarakat sudah mencoba berunding, tetapi etikat baik mereka tidak diindahkan,” tambah mantan anggota DPRD.

Aljufri menduga bahwa PT. CCI tidak mematuhi Undang-Undang, terutama terkait kejelasan perjanjian, masa berakhirnya HGU, perpanjangan HGU, dan alokasi Dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang belum diwujudkan sesuai perintah Undang-Undang. Dugaan adanya pengambilalihan oleh perusahaan asing menambah ketidakpastian, sementara papan nama perusahaan dan status tanah masih menjadi tanda tanya.

Lebih jauh Aljufri mengharapkan partisipasi aktif dari pihak Negara untuk menyelidiki dan mengambil tindakan konkrit di wilayah selatan, di mana perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sektor perkebunan kelapa sawit diduga tidak mematuhi perintah Undang-Undang dan regulasi pemerintah, baik dari tingkat pusat maupun daerah. Dugaan kelalaian yang dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya, khususnya di Kabupaten Pesisir Selatan, menyebabkan kerugian signifikan.

Keberadaan perusahaan yang tampaknya tidak terkena hukuman di Pesisir Selatan memunculkan pertanyaan yang mendalam: Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Harapannya terhadap pemekaran daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tampak terhambat oleh kehadiran perusahaan-perusahaan yang tidak tunduk sepenuhnya pada regulasi dan mengorbankan kepentingan masyarakat.

Tidak hanya itu, ketidaksetaraan harga kelapa sawit dengan daerah lain dengan alasan yang kurang masuk akal menunjukkan adanya ketidakadilan ekonomi yang memerlukan perhatian serius. Meskipun alasan kualitas buah yang baik seringkali diungkapkan, upaya pembinaan terhadap petani oleh instansi terkait di Kabupaten ini nampak minim.

Inilah saatnya bagi negara untuk tidak hanya mengambil tindakan hukum, tetapi juga untuk memperkuat pembinaan petani dan melindungi kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Harapannya, dengan langkah-langkah ini, kehadiran perusahaan di wilayah tersebut dapat memberikan dampak positif sesuai dengan tujuan pembangunan dan aspirasi masyarakat, ujar Aljufri menegaskan.

Sementara itu JM  PT. CCI Wilayah Sumbar, Agri Aditia Putra telah mengakui bahwa perusahaan telah diambil alih oleh Group Bakri sejak tahun 2008. Meskipun dihadapkan pada tantangan besar, dia berharap kerjasama dengan masyarakat dapat menciptakan kesepakatan yang saling menguntungkan.

Perihal kesepakatan antara PT. CCI dan KUD-KUD, perusahaan menyatakan kesiapannya untuk membangun plasma masyarakat dengan syarat lahan tersedia. Mereka berkomitmen untuk berkoordinasi dengan pemerintah dan pemangku adat untuk menyelesaikan konflik secara bertahap.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *