Oleh: Hj. Nevi Zuairina,
Anggota DPR RI FPKS
Jakartao,relasipublik – Keindahan Raja Ampat bukan hanya kebanggaan Papua Barat Daya, tetapi warisan dunia yang diamanahkan kepada bangsa Indonesia untuk dijaga dan dilestarikan. Namun ironisnya, tangan-tangan industri yang melampaui batas telah mencabik-cabik surga kecil ini. Hutan tropis dirambah, terumbu karang dikubur sedimentasi, padang lamun dan mangrove tercemar logam berat, bahkan mata pencaharian nelayan dan kehidupan fauna laut seperti penyu sisik dan pari manta terusik dan terancam. Semua ini akibat aktivitas tambang nikel dari perusahaan-perusahaan yang tak mengindahkan keberlanjutan.
Keputusan pemerintah mencabut IUP empat perusahaan tambang di Raja Ampat, merupakan langkah penting, namun belum cukup. Kerusakan telah terjadi, dan pencabutan izin tidak serta-merta membebaskan perusahaan dari tanggung jawab. Dalam sistem hukum lingkungan kita, khususnya UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, sudah sangat jelas bahwa setiap pemegang IUP wajib melakukan reklamasi dan pascatambang, sekalipun operasional telah dihentikan. Prinsip yang harus ditegakkan adalah “polluter pays”—yang merusak, harus bertanggung jawab memulihkan.
DPR akan selalu mengawal, seperti air mencari jalannya dari pegunungan ke lautan. Kami, para wakil rakyat, memikul tanggung jawab untuk memastikan pemulihan lingkungan benar-benar terjadi. Melalui fungsi pengawasan, DPR akan mendesak audit lingkungan independen di lokasi bekas tambang, menagih komitmen perusahaan atas dana jaminan reklamasi, dan jika perlu menggunakan mekanisme hukum untuk menagih dan mengeksekusinya. Komisi-komisi teknis di DPR akan memanggil Kementerian ESDM, KLHK, BPK, dan pemerintah daerah dalam rapat dengar pendapat untuk memastikan pemulihan tidak hanya berhenti pada wacana, tapi nyata di lapangan.
Kami juga mengusulkan agar dana jaminan yang sudah disetor segera direalisasikan untuk program rehabilitasi mangrove, restorasi terumbu karang, hingga pelibatan masyarakat dalam kegiatan padat karya restoratif. Perlu ada kolaborasi multipihak, antara pemerintah, LSM, komunitas adat, dan akademisi agar proses pemulihan tidak hanya teknokratis, tetapi juga berkeadilan sosial.
Kondisi di lapangan menyedihkan. Sedikitnya 1.000 hektar kawasan telah rusak, terdiri dari 500 hektar hutan darat, 494 hektar cekungan terbuka, serta kawasan perairan yang mengalami sedimentasi dan pencemaran. Nilai potensi kerusakan ekosistem bahkan diperkirakan mencapai USD 8 hingga 27 juta per tahun. Jika kita tak segera bergerak, maka tak hanya alam yang menanggung derita, tapi juga masa depan anak cucu bangsa ini yang dirampas haknya atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Sayangnya, tidak sedikit perusahaan yang telah angkat kaki dari lokasi tambang. Mereka meninggalkan jejak luka di bumi Raja Ampat tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Di sinilah peran DPR menjadi penting, sebagai penjaga nurani bangsa dan pemegang amanat rakyat. Kami akan mendorong lahirnya regulasi tambahan bila perlu, untuk memastikan lubang-lubang tambang tidak menjadi liang kubur bagi kehidupan ekologis bangsa.
Kami juga akan terus berkoordinasi dengan DPRD dan pemerintah daerah untuk memastikan suara masyarakat adat yang selama ini hidup berdampingan dengan alam, tidak diabaikan. Masyarakat adat adalah garda depan perlindungan lingkungan dan tidak boleh dikesampingkan dari proses pemulihan. Partisipasi mereka harus dijamin, baik dalam bentuk kompensasi, maupun pelibatan langsung dalam kegiatan ekowisata dan rehabilitasi kawasan.
Sebagai anggota DPR RI, saya ingin terus menyuarakan, bahwa pencabutan izin tambang bukanlah akhir dari perjuangan. Justru inilah titik awal untuk menata ulang arah pembangunan kita, pembangunan yang tidak membunuh alam, tapi bersahabat dengannya. Pembangunan yang menyejahterakan rakyat tanpa mengorbankan ekosistem. Karena keberlanjutan bukan sekadar jargon, tapi kewajiban moral dan konstitusional kita semua.
Kita tidak sedang berbicara tentang wilayah yang jauh dan asing. Kita sedang berbicara tentang titipan generasi masa depan, tentang identitas bangsa sebagai penjaga kelestarian bumi. Maka dari itu, tidak boleh ada kompromi terhadap upaya-upaya pemulihan. Harus ada keadilan ekologis. Harus ada ketegasan hukum. Dan harus ada pengawasan yang tak henti dari parlemen, masyarakat sipil, dan media.
Raja Ampat harus pulih. Jangan biarkan alam membayar harga keserakahan manusia. Jangan wariskan kerusakan kepada generasi penerus kita. Mari kita kawal bersama agar langkah pencabutan IUP menjadi gerbang menuju pemulihan sejati. Demi bumi, demi negeri. Kembalikan Keindahan Alamnya.