Oleh Musfi Yendra
Ketua Komisi Informasi Sumbar
Sumbar,relasipublik – Uji konsekuensi merupakan mekanisme penting dalam sistem keterbukaan informasi publik di Indonesia. Prosedur ini berfungsi untuk menilai potensi dampak negatif atas pembukaan suatu informasi yang dinilai layak untuk dikecualikan. Dalam konteks ini, uji konsekuensi menjadi instrumen untuk memastikan bahwa pengecualian terhadap informasi dilakukan secara objektif, terukur, dan berdasarkan asas-asas hukum yang berlaku.
Hal ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), yang menyatakan bahwa pada dasarnya semua informasi yang dikuasai oleh badan publik adalah terbuka dan dapat diakses oleh publik, kecuali informasi tertentu yang secara tegas dinyatakan sebagai informasi yang dikecualikan.
Ketentuan ini diperkuat melalui Peraturan Komisi Informasi (Perki) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik, yang menjadi pedoman operasional bagi badan publik dalam mengelola permintaan informasi.
Secara konseptual, uji konsekuensi didefinisikan sebagai proses evaluatif untuk menilai apakah pembukaan suatu informasi akan menimbulkan risiko atau dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat keterbukaannya. Proses ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan atau atas dasar asumsi, melainkan harus melalui pertimbangan yang rasional, berbasis data, dan mengacu pada norma hukum.
Uji konsekuensi bukan hanya sekadar formalitas administratif, melainkan mekanisme yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara hak masyarakat atas informasi dan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan strategis negara, individu, dan entitas lain yang relevan.
Dalam pelaksanaannya, badan publik harus dapat menunjukkan dasar alasan mengapa suatu informasi dikecualikan, dan keputusan tersebut wajib dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan lembaga pengawas, termasuk Komisi Informasi.
UU KIP dalam Pasal 17 menyebutkan beberapa kategori informasi yang dapat dikecualikan. Kategori tersebut mencakup informasi yang dapat menghambat proses penegakan hukum, mengganggu perlindungan terhadap kekayaan intelektual dan persaingan usaha yang sehat, membahayakan pertahanan dan keamanan nasional, mengganggu ketertiban umum, serta informasi yang mengandung rahasia jabatan atau menyangkut data pribadi seseorang. Informasi yang bersifat rahasia tersebut hanya dapat ditetapkan setelah dilakukan uji konsekuensi.
Oleh karena itu, badan publik wajib menyusun dokumen hasil uji konsekuensi sebagai bentuk akuntabilitas, yang harus disimpan dan dapat ditinjau kembali jika terjadi sengketa informasi. Dengan demikian, proses uji konsekuensi tidak hanya penting dalam pengambilan keputusan saat itu, tetapi juga berperan sebagai dokumentasi yang sah dalam penyelesaian sengketa melalui Komisi Informasi.
Adapun tahapan uji konsekuensi berdasarkan Perki Nomor 1 Tahun 2021 terdiri dari beberapa langkah penting. Pertama, badan publik melakukan identifikasi terhadap informasi yang diminta oleh pemohon. Kedua, dilakukan analisis risiko yang mencakup kemungkinan dampak negatif dari pembukaan informasi terhadap keamanan, kerahasiaan, maupun kepentingan strategis lainnya. Ketiga, badan publik harus mempertimbangkan secara seimbang antara manfaat keterbukaan informasi dan potensi kerugian atau ancaman yang mungkin timbul.
Keempat, PPID sebagai pihak yang berwenang menyusun rekomendasi berdasarkan hasil analisis. Kelima, pimpinan badan publik menetapkan keputusan akhir dan mendokumentasikan seluruh proses sebagai bukti akuntabilitas kelembagaan. Keseluruhan proses ini tidak boleh bersifat subjektif dan wajib dilakukan secara transparan agar tidak melanggar hak publik untuk tahu.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), penerapan uji konsekuensi juga harus selaras dengan prinsip-prinsip dasar seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, dan keadilan. Transparansi mengharuskan bahwa proses dan hasil uji konsekuensi dapat diketahui publik, setidaknya dalam bentuk ringkasan atau justifikasi umum. Akuntabilitas menuntut badan publik untuk memberikan alasan yang jelas, logis, dan terdokumentasi atas keputusan untuk menolak permintaan informasi.
Partisipasi publik juga penting, terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, seperti proyek infrastruktur berskala besar, penggunaan dana publik, atau pengambilan keputusan strategis yang berdampak luas. Dalam beberapa kasus, Komisi Informasi maupun lembaga pengadilan telah menegaskan bahwa alasan pengecualian tidak boleh digunakan sebagai kedok untuk menutupi penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, atau informasi yang semestinya menjadi pengetahuan publik.
Secara global, konsep uji konsekuensi bukanlah hal baru. Di berbagai negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan India, mekanisme serupa juga diterapkan melalui undang-undang kebebasan informasi. Di Inggris, misalnya, Freedom of Information Act 2000 mengatur bahwa informasi tertentu dapat dikecualikan hanya jika ada alasan kuat bahwa pengungkapannya akan menimbulkan kerugian serius.
Hal yang sama berlaku di Amerika Serikat melalui Freedom of Information Act (FOIA), di mana informasi terkait pertahanan, keamanan, rahasia dagang, serta data pribadi dapat dikecualikan dengan syarat dilakukan uji dampak terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip dasar keterbukaan informasi adalah bersifat universal, sementara pengecualian terhadapnya harus dilakukan dengan sangat selektif dan proporsional.
Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi keterbukaan dan hak asasi manusia, harus menegakkan standar yang sama dalam pelaksanaan uji konsekuensi.
Perkembangan teknologi dan digitalisasi juga menghadirkan tantangan baru dalam pelaksanaan uji konsekuensi, khususnya terkait perlindungan data pribadi. Dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, maka semakin kuat pula dasar hukum untuk melindungi informasi yang menyangkut privasi seseorang.
Dalam konteks ini, uji konsekuensi diperlukan untuk menilai sejauh mana pembukaan suatu informasi dapat melanggar hak individu atas kerahasiaan data pribadinya. Misalnya, informasi tentang kondisi kesehatan, catatan keuangan, atau preferensi digital seseorang harus dinilai secara seksama apakah benar-benar relevan untuk dibuka kepada publik.
Di sisi lain, jika informasi tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelidikan publik atau pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara, maka perlu dilakukan pengaburan (masking) pada bagian-bagian yang bersifat sensitif.
Dalam bidang ekonomi dan bisnis, uji konsekuensi juga berperan penting dalam melindungi kepentingan strategis perusahaan, terutama BUMN dan badan usaha yang mengelola aset negara. Informasi yang berkaitan dengan strategi bisnis, rencana ekspansi, atau akuisisi dapat menjadi alat persaingan yang tidak sehat jika bocor ke tangan pihak-pihak yang tidak berkepentingan.
Oleh karena itu, badan publik harus menerapkan prinsip kehati-hatian yang tinggi saat memutuskan untuk membuka atau merahasiakan informasi yang berkaitan dengan dunia usaha. Namun demikian, informasi yang menyangkut penggunaan dana publik, seperti laporan keuangan dan hasil audit, tetap harus dapat diakses demi menjamin transparansi dan pengawasan masyarakat.
Meskipun informasi tertentu dikecualikan, dalam kondisi tertentu informasi tersebut tetap dapat dibuka apabila terdapat kepentingan publik yang lebih besar. Misalnya, informasi mengenai proyek pembangunan yang menggunakan dana APBN/APBD, hasil kajian lingkungan hidup, atau dokumen yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik.
Dalam kasus semacam ini, badan publik harus menggunakan uji konsekuensi untuk menilai urgensi, proporsionalitas, dan dampak positif dari keterbukaan. Keterbukaan informasi dalam situasi seperti ini justru dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah dan mendorong partisipasi aktif dalam proses pengambilan kebijakan.
Untuk menjamin pelaksanaan uji konsekuensi yang efektif, diperlukan penguatan kelembagaan melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia, penyusunan panduan teknis, serta pengawasan yang ketat oleh Komisi Informasi dan lembaga pengawas lainnya. Beberapa negara bahkan membentuk badan independen khusus untuk mengevaluasi dan menilai pengecualian informasi secara objektif. Langkah ini dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia dalam memperkuat sistem keterbukaan informasi yang kredibel dan berdaya guna. Ke depan, peningkatan literasi informasi di kalangan aparatur pemerintah dan masyarakat juga menjadi kunci agar prinsip keterbukaan dapat dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab.
Uji konsekuensi bukan hanya sekadar prosedur administratif, melainkan fondasi penting dalam membangun sistem keterbukaan informasi publik yang sehat. Ia menjadi penjaga batas antara hak publik atas informasi dan kewajiban negara untuk melindungi informasi strategis, sensitif, atau bersifat pribadi.
Pelaksanaan uji konsekuensi yang konsisten, akuntabel, dan berbasis prinsip kehati-hatian akan menjadi tonggak penting dalam perwujudan tata kelola pemerintahan yang terbuka, partisipatif, dan demokratis di Indonesia. []