Oleh:Irdam Imran
Mantan Birokrat Parlemen Senayan
Sekretaris Wakil Ketua DPD RI Irman Gusman Periode 2006–2009
Jakarta,relasipublik – 11 Agustus 2025 di ruang sidang besar Gedung Nusantara, kursi tersusun rapi. Presiden duduk berdampingan dengan pimpinan DPD dan DPR. Di balkon atas, para gubernur, bupati, dan wali kota se-Indonesia menyimak serius. Semua mata tertuju ke podium, menunggu pidato kenegaraan.
Inilah Sidang Bersama DPD RI dan DPR RI—forum tahunan yang menjadi simbol persatuan pusat dan daerah. Ia menampilkan wajah eksekutif dan legislatif nasional sekaligus menghadirkan para kepala daerah dari Sabang sampai Merauke; sebuah perjumpaan yang menyatukan tiga poros penting negara: pemerintah pusat, parlemen, dan daerah.
Sidang bersama DPR dan DPD pada tahun 2025 ini merupakan sidang bersama ke 15 sejak digelar pertama kali tahun 2010 silam. Rencananya, sidang itu akan dihadiri Presiden RI Prabowo Subianto hingga mantan Presiden terdahulu
Latar Belakang dan Sejarah:
Pembentukan DPD:
DPD dibentuk sebagai hasil dari amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Pembentukan DPD bertujuan untuk mewakili kepentingan daerah dalam proses pengambilan keputusan politik di tingkat nasional.
Perubahan Struktur MPR:
Sebelum pembentukan DPD, MPR bersifat unikameral (satu kamar). Dengan adanya DPD, MPR berubah menjadi bikameral (dua kamar), terdiri dari DPR dan DPD.
Sidang Bersama:
Sidang Bersama DPR-DPD menjadi forum penting setelah DPD terbentuk. Sidang ini menjadi wadah bagi kedua lembaga untuk berinteraksi, berdiskusi, dan mencari solusi bersama terhadap berbagai isu yang berkaitan dengan kepentingan nasional dan daerah.
Pada periode awal DPD RI (2004–2009) muncul sebuah gagasan mengenai forum tahunan yang mempertemukan Presiden, DPR, dan DPD, dengan kehadiran para kepala daerah agar kebijakan di pusat mudah diterjemahkan di daerah.
Dalam proses itu, Irman Gusman, saat itu Wakil Ketua DPD dan masih muda namun visioner—mengambil peran cukup signifikan dengan menggagas dan mendorong serta mengonsolidasikan sebuah forum tahunan resmi yang saat itu bernama “joint session”. Tujuannya adalah membahas arah pembangunan nasional yang lebih komprehensif, yakni melibatkan para kepala daerah agar kebijakan yang diputuskan di Jakarta langsung bisa diterjemahkan di daerah. Selain itu juga menjadi jembatan yang menguatkan peran DPD sekaligus, sekali lagi, menyelaraskan agenda pusat-daerah.
Gagasan Irman Gusman tersebut tidaklah langsung disambut hangat. Bahkan setahun kemudian, sebagaimana yang diinformasikan oleh detiknews.com pada 18 Juli 2005, Sidang Bersama Parlemen belum juga dilaksanakan. DPD—melalui Irman Gusman—secara terbuka dengan tegas menyatakan bahwa jika Sidang Bersama Parlemen tidak tercapai, DPD akan mengundang Presiden menyampaikan pidato kenegaraan, Nota Keuangan, dan RAPBN 2006 di forum DPD.
Hal ini ditempuh sebagai salah satu mandat DPD memberi pertimbangan dan mengawasi APBN dan efektifitas pidato presiden. “Jadi Presiden tidak perlu membacakan pidato dua kali,” kata Irman kala itu.
Menanggapi ide Irman Gusman, Menteri Sekretaris Negara kala itu, Yusril Ihza Mahendra menolak. Adapun alasannya adalah ada kehati-hatian terkait landasan konstitusional dan potensi tumpang tindih mekanisme yang ada.
Namun Irman Gusman tak patah arang, berbagai diskusi dan rapat digelar, semntara pendekantan dan lobby-lobby dilakukan dengan berbagai pihak. Hasilnya, pada tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakomodasi gagasan tersebut dan kemudian sidang bersama DPR-DPD baru dilaksanakan setelah diatur dalam Peraturan Bersama DPR dan DPD yang disahkan 3 Agustus 2010.
Kompromi tersebut membuat forum bisa berjalan tanpa menabrak aturan. Meski interaksi berkurang, esensi pertemuan pusat-daerah tetap terjaga lewat kehadiran para kepala daerah. Simbol ini penting; dalam satu ruangan,pemimpin nasional dan lokal saling memandang dan mendengar arah kebijakan negara.
Sejarah mencatat, pasca disahkannya Peraturan Bersama DPR dan DPD sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Irman Gusman menjadi pimpinan DPD pertama yang memimpin Sidang Paripurna Bersama, yakni pada tahun 2011.
Menjadi Agenda Kenegaraan
Inilah sejarah baru. Sejak saat itu, setiap 16 Agustus Sidang Bersama menjadi agenda tetap. Dimana Presiden menyampaikan dua pokok pidato:
Pagi: Pidato Kenegaraan—refleksi perjalanan bangsa dan arah kebijakan ke depan.
Siang: Penyampaian RAPBN dan Nota Keuangan—dasar pembahasan anggaran di parlemen.
Pada era Presiden Presiden Prabowo, tradisi ini akan terus berlanjut dengan format yang kian baku dan protokoler, menjadikannya salah satu momen politik paling diperhatikan dalam kalender tahunan di Senayan.
Namun pelaksanaan Sidang Bersama tahun 2025 ini akan dimajukan sehari menjadi tanggal 15 Agustus 2025, mengingat tanggal 16 Agustus jatuh pada hari sabtu.
Roh yang Perlu Dirawat
Seiring berjalan waktu, banyak kalangan yang menilai roh awal Sidang Bersama Parlemen ini belum sepenuhnya terwujud. Sidang Bersama Parlemen kini lebih bernuansa seremonial kenegaraan daripada forum substantif yang benar-benar mengintegrasikan aspirasi daerah ke dalam kebijakan nasional.
Memang, dalam sidang itu, kehadiran para kepala daerah masih ada, namun lebih bersifat simbolis. Dialog dan interaksi langsung hampir tidak terjadi. Padahal, gagasan awal sebagaimana yang diperjuangkan oleh Irman Gusman, bukan sekedar mendengar pidato satu arah, melainkan jauh dari sekedar itu, yakni membangun diskusi strategis-substantif antara pusat dan daerah.
Agar ruh awal—mendekatkan perspektif pusat dan daerah—tetap hidup, beberapa langkah kiranya penting untuk dapat dipertimbangkan: (1) Sesi tematik singkat untuk masukan kepala daerah terkait prioritas nasional; (2) Paparan capaian daerah terpilih yang relevan dengan agenda pemerintah pusat; (3) Kanal tindak lanjut agar butir Sidang Bersama terintegrasi dalam proses kebijakan dan anggaran.
Penutup
Sidang Bersama DPD–DPR adalah bukti bahwa ide yang sempat ditolak bisa menemukan jalannya menjadi tradisi. Ia lahir dari ruang aspirasi daerah, sempat terhambat oleh tafsir konstitusi, namun bertahan lewat kompromi.
Kini, tugas generasi politik berikutnya adalah memastikan tradisi ini tidak kehilangan makna. Sebab, di balik kursi-kursi rapi di Gedung Nusantara, ada harapan besar bahwa suara daerah akan selalu mendapat tempat di panggung nasional