TERBARU

Ketika Partisipasi Publik Tidak Didengar, Jalanan Menjadi Panggung Utama Suara Rakyat

31
×

Ketika Partisipasi Publik Tidak Didengar, Jalanan Menjadi Panggung Utama Suara Rakyat

Sebarkan artikel ini

Sumbar,relasipublik – Demonstrasi atau unjuk rasa merupakan bentuk penyampaian pendapat di ruang publik, baik melalui lisan, tulisan, maupun aksi simbolik, yang dilakukan individu maupun kelompok untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah atau menuntut perubahan tertentu. Aksi ini menjadi salah satu ekspresi paling nyata dari demokrasi, dimana jalanan dipenuhi massa, spanduk tuntutan, hingga orasi lantang yang memperlihatkan dinamika politik masyarakat sipil.

Dalam dua bulan terakhir, tepatnya Agustus–September 2025, berbagai kelompok mulai dari mahasiswa, pengemudi ojek online, jurnalis, aktivis, hingga masyarakat sipil kembali turun ke jalan. Isu yang diangkat beragam, mencakup kebijakan ekonomi, politik, hingga ketidakadilan sosial. Fenomena ini memperlihatkan bahwa demonstrasi bukan sekadar kerumunan spontan, melainkan gerakan sosial yang menuntut perubahan. Hal ini juga selaras dengan UUD 1945 Pasal 28E ayat (3), yang menegaskan bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan demikian, demonstrasi adalah wujud nyata partisipasi publik yang tak boleh direduksi menjadi sekadar “keributan di jalan.”

Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa demonstrasi kerap menjadi arena tarik-menarik antara idealisme masyarakat dengan agenda elite. Dalam sejumlah momentum politik, aksi massa digunakan untuk memperkuat posisi partai, memobilisasi dukungan, atau bahkan menggoyang legitimasi pemerintah. Politisasi semacam ini berpotensi melemahkan aspirasi rakyat, sehingga massa rentan dijadikan alat bagi kepentingan sesaat.

Meski demikian, tidak adil jika setiap demonstrasi langsung dicurigai sebagai tunggangan politik. Fakta bahwa ribuan orang rela meninggalkan pekerjaan atau kuliah demi turun ke jalan menjadi bukti adanya keresahan riil. Bagi buruh, demonstrasi adalah sarana menuntut hak ekonomi yang tak tercapai melalui jalur formal. Bagi mahasiswa, demonstrasi adalah ekspresi moral sekaligus media pendidikan politik. Meskipun kepentingan elite berpotensi menyusup, ruang partisipasi masyarakat dalam aksi semacam ini tetap harus dihargai.

Dari perspektif teori partisipasi politik, demonstrasi dikategorikan sebagai bentuk partisipasi non-konvensional karena berlangsung di luar mekanisme formal seperti pemilu atau musyawarah pembangunan. Setidaknya ada dua faktor utama mengapa demonstrasi muncul. Pertama, adanya ruang demokrasi yang memungkinkan masyarakat bersuara. Kedua, kegagalan institusi formal khususnya partai politik dan legislatif dalam menjalankan fungsi representasi. Ketika saluran formal gagal, jalanan akhirnya menjadi arena alternatif untuk menyuarakan aspirasi.

Sayangnya, respons pemerintah terhadap demonstrasi sering memperburuk keadaan. Alih-alih membuka ruang dialog, pemerintah cenderung pasif atau bahkan menghindar. Ketika protes terus bergema di jalanan, pemerintah lambat merespons hingga situasi memanas, yang dalam beberapa kasus berujung pada perusakan fasilitas umum atau penyerangan rumah pejabat. Ironisnya, ketika situasi telah kacau, pemerintah muncul bukan untuk menenangkan, melainkan memberi peringatan keras terhadap aksi anarkis. Pola respons semacam ini hanya memperburuk krisis kepercayaan masyarakat.

Di sinilah letak dilema demokrasi: apakah demonstrasi mampu menjaga kemurnian aspirasi rakyat, atau sekadar berubah menjadi panggung elite politik?

Oleh karena itu diperlukan kesadaran kolektif dari semua pihak. Pertama, masyarakat sipil dan media perlu menjaga agar tuntutan tetap fokus pada substansi, bukan agenda elite. Kedua, aparat keamanan harus mengedepankan pendekatan dialogis, bukan kekerasan. Ketiga, pemerintah wajib menunjukkan komitmen dengan membuka ruang dialog dan menghadirkan solusi nyata, bukan sekadar pernyataan tanpa adanya tindakan lanjutan pasca-krisis.

Pada akhirnya, demonstrasi adalah cermin sekaligus ujian bagi demokrasi Indonesia. Ia bisa menjadi wujud paling jujur dari kebebasan berpendapat ketika suara rakyat benar-benar didengar. Namun, ia juga berpotensi direduksi menjadi instrumen elite jika massa hanya dijadikan alat politik. Masa depan demokrasi kita akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kemurnian partisipasi rakyat dapat dijaga. Jika aspirasi publik terus diabaikan, maka jalanan akan selalu menjadi panggung utama bagi rakyat untuk bersuara.

 

Penulis : Adelia Triani Manihuruk

Mahasiswa Universitas Andalas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *