Padang,relasipublik – 18 September 2025 Langkah tegas diambil Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (Kejati Sumbar) dalam mengusut kasus korupsi yang membelit Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Padang Sejahtera Mandiri (PSM). Pada Kamis siang, penyidik resmi menahan Teddy Alfonso (TA), seorang Supervisor Audit yang diduga kuat terlibat dalam praktik penyimpangan dana subsidi operasional bus Trans Padang tahun anggaran 2021.
Kasus ini semakin menjadi sorotan publik karena menyangkut dana subsidi dari APBD Kota Padang senilai Rp18 miliar yang sejatinya diperuntukkan untuk pelayanan transportasi masyarakat.
Namun, alih-alih dikelola dengan transparan, dana besar tersebut justru diduga dimanipulasi hingga menimbulkan kerugian negara mencapai Rp3,6 miliar.
Suasana di Kejati Sumbar terasa serius ketika Tim Penyidik Bidang Pidana Khusus membawa TA untuk menjalani pemeriksaan. Setelah berjam-jam diperiksa, penyidik akhirnya memastikan langkah hukum: tersangka ditahan untuk 20 hari ke depan di Rutan Negara Anak Air, Padang.
Keputusan ini bukan tanpa alasan. Penyidik mendasarkan penahanan pada Pasal 21 KUHAP, dengan pertimbangan:
Subjektif: TA dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau bahkan mengulangi tindak pidana.
Objektif: Dugaan tindak pidana yang dilakukan memiliki ancaman pidana penjara minimal lima tahun.
“Bukti permulaan sudah cukup. Penahanan dilakukan agar proses hukum berjalan lancar dan tidak ada hambatan dari pihak tersangka,” tegas Mhd. Rasyid, SH., MH, Kasi Penkum Kejati Sumbar.
Penyidik mengungkapkan, dugaan korupsi bermula sejak Maret 2021, ketika Perumda PSM menerima alokasi subsidi sebesar Rp18 miliar. Dana tersebut terbagi untuk dua pos: biaya operasional langsung armada Trans Padang, serta biaya operasional tak langsung seperti gaji pegawai.
Namun, dalam praktiknya, TA yang kala itu berperan sebagai Supervisor Audit justru terlibat dalam penyusunan laporan keuangan yang menutupi penyimpangan dana. Tidak hanya itu, laporan tersebut juga dijadikan syarat administratif untuk pencairan dana subsidi pada triwulan pertama dan kedua.
Ironisnya, peran sebagai pengawas yang seharusnya menjamin akuntabilitas, justru dimanfaatkan TA untuk memperlancar pencairan dana yang sudah bermasalah. Atas jasanya itu, TA menerima pembayaran sebesar Rp514,7 juta dari Perumda PSM. Sebagian uang tersebut, sekitar Rp23,5 juta, kemudian dialirkan kepada PI, Direktur Utama Perumda PSM yang telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.
Dari hasil audit tujuan tertentu yang dilakukan auditor internal Kejati Sumbar, kerugian negara akibat praktik ini tidaklah kecil. Angka Rp3,6 miliar menjadi bukti betapa seriusnya dampak penyalahgunaan dana publik tersebut.
Uang yang seharusnya menopang kelancaran transportasi umum, justru raib akibat praktik korupsi berjamaah. Hal ini semakin menambah keprihatinan masyarakat, mengingat transportasi publik seperti Trans Padang sangat dibutuhkan warga sebagai moda mobilitas yang terjangkau.
Jerat Hukum yang Menanti
Atas perbuatannya, penyidik menjerat TA dengan pasal berlapis:
Primair: Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No.20/2021 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.
Subsidair: Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20/2021 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.
Kedua pasal itu sama-sama mengandung ancaman berat, yakni pidana penjara lebih dari lima tahun serta denda yang tidak sedikit.
Kejati Sumbar menegaskan, kasus ini menjadi bukti bahwa pihaknya berkomitmen kuat memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Tidak ada jabatan, kedudukan, atau status yang bisa menghalangi proses hukum.
“Penegakan hukum tidak boleh pandang bulu. Kami pastikan, setiap orang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi akan diproses sesuai aturan yang berlaku. Tidak ada yang kebal hukum,” tegas Rasyid.
Langkah ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak, terutama masyarakat Kota Padang yang selama ini menggantungkan mobilitasnya pada layanan Trans Padang. Publik berharap, penindakan hukum tidak berhenti pada tersangka yang sudah ditetapkan, melainkan terus dikembangkan agar jaringan penyalahgunaan dana bisa terungkap secara tuntas.
Kasus Teddy Alfonso dan PI memperlihatkan bahwa pengawasan internal yang seharusnya menjadi benteng terakhir transparansi, bisa runtuh jika integritas pejabat yang memegang peran penting dikompromikan. Ketika laporan keuangan dimanipulasi, bukan hanya angka yang dimanipulasi, tetapi juga kepercayaan publik yang ikut terkikis.
Kini, masyarakat menanti bagaimana proses hukum ini berjalan di pengadilan. Apakah Teddy Alfonso akan mendapatkan hukuman setimpal? Dan apakah kerugian negara senilai Rp3,6 miliar bisa dipulihkan kembali?
Yang jelas, kasus ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan dana publik adalah amanah besar, dan setiap pengkhianatan terhadap amanah itu pada akhirnya akan menyeret pelakunya ke meja hijau.(**)