Padang,relasipublik – Tanggal 1 September 2025 menjadi titik balik penting dalam demokrasi Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk demonstrasi yang menyapu berbagai daerah, ketika pagar-pagar tinggi di sekitar Gedung DPR bukan hanya pembatas fisik, melainkan juga simbol jarak pemisah antara rakyat dengan wakil-wakil mereka. Gelombang unjuk rasa yang dimulai sejak akhir Agustus 2025, isu yang berkembang setelah 80 tahun kemerdekaan Indonesia, berhasil mencapai puncaknya dengan tragedi berdarah yang menewaskan warga sipil, salah satunya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang menjadi korban keganasan aparat. Namun, di balik kekacauan dan kepedihan, muncul pertanyaan mendasar, apakah demonstrasi yang menjadi jalan terakhir rakyat untuk menyuarakan aspirasi harus selalu dibayar dengan darah dan air mata? Ataukah ada jalan lain yang lebih elegan untuk menegakkan kedaulatan rakyat tanpa mengorbankan nyawa dan keamanan publik? Lantas apakah demonstrasi adalah partisipasi masyarakat yang harus diakui keberadaannya?
Pertama, demonstrasi bukan ajang ricuh seperti yang tergambar dipikiran banyak orang, melainkan sebuah manifestasi nyata dari kedaulatan rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Kebebasan berpendapat diakui sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Namun, ketika aspirasi tidak lagi efektif, publik tidak lagi dianggap penting, rakyat menemukan jalan lain melalui unjuk rasa. Demonstrasi juga tidak sesederhana kerumunan massa biasa, tapi juga bagian dari cermin kegagalan sistem institusi demokrasi dalam menjalankan fungsinya.
DPR hadir sebagai lembaga representatif sebagai corong suara rakyat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Anggota DPR lebih sibuk dengan kepentingan partai. Menjadi perwakilan partai demi menyukseskan kepentingan sekelompok elit. Tidak lupa melestarikan gaya hidup mewah daripada mendengarkan keluhan konstituen di tengah rakyat yang kelaparan dan tidak dapat merasapi nikmatnya keadilan. Tidak heran, melebarnya kabar tunjangan anggota DPR yang fantastis di era polemik pajak tinggi memperlebar jurang ketidakpercayaan masyarakat. Tidak hanya itu, ketika rakyat menuntut transparansi dan keadilan, yang mereka dapatkan adalah pernyataan arogan.
Dalam era digital, media sosial menjadi alat vital untuk menyebarkan informasi dan mengorganisir gerakan. Termasuk gerakan demontrasi secara online yang menjadi motode untuk berpartisipasi. Salah satu gerakan yang belakangan dikenal dengan 17+8 Tuntutan Rakyat yang viral dengan warna pink dan hijau adalah bukti bahwa teknologi dan seni dapat menjadi senjata perlawanan yang efektif . Warna pink terinspirasi dari ibu-ibu yang berani turun ke jalan dan melambangkan perempuan yang melawan, sedangkan hijau mewakili kebaikan dan warna ojek online yang dikemudikan almarhum Affan . Gerakan ini tidak hanya menyatukan suara dari berbagai organisasi masyarakat sipil tetapi juga mendapat dukungan dari figur publik seperti Jerome Polin dan Salsa Erwina yang memicu kesadaran mengenai pentingnya berpartisipasi dalam berpolitik bagi seluruh lapisan masyarakat. Tuntutan yang terbagi menjadi 17 poin jangka pendek yang harus dipenuhi hingga 5 September 2025 dan 8 poin jangka panjang hingga 31 Agustus 2026 . Namun, ketika platform seperti TikTok dibatasi, ruang ekspresi semakin menyempit. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di sistem demokrasi, tidak lagi diberi ruang berpartisipasi. Pembatasan ini justru memicu kreativitas, berbekal kesadaran dan semangat, ribuan rakyat turun ke jalan karena diinilai salah satu cara efektif yang bisa diupayakan.
Demonstrasi adalah bentuk partisipasi politik. Namun siapa yang mengira jika demonstrasi yang dibekali dengan orasi dan tuntutan, berubah menjadi lautan api dan amuk. Tragedi Affan Kurniawan yang tewas dilindas rantis Brimob memicu kemarahan massa yang sudah lama tertahan. Kerusuhan pun tidak terhindarkan, gedung-gedung pemerintah dibakar, toko-toko dijarah, dan rumah pejabat diserang. Aksi anarkis ini tidak hanya menelan korban jiwa tetapi juga mengaburkan pesan demonstrasi sebagai partisipasi itu sendiri. Demontrasi tidak lagi berbekal kesadaran, niat partispasi telah salah tujuan. Kematian Affan Kurniawan adalah potret suram dari demonstrasi yang dipenuhi kekerasan. Bersamaan dengan utu, dibalik makna partisipasi yang lenyap, muncul juga serangkaian narasi-narasi palsu yang sengaja disebarkan oleh buzzer untuk memanipulasi opini publik. Hoaks dan deepfake semakin marak beredar. Provokasi bertebaran. Hilang sudah esensi partisipasi yang seharusnya diperjuangkan, suasana keruh. Rakyat tidak butuh keributan, bukan juga manipulasi informasi, tapi rakyat butuh transparansi dan keadilan. Proses hukum untuk Affan dan korban lainnya harus ditegakkan secara independen dan tanpa tebang pilih.
Meskipun diterpa dengan isu Apart vs rakyat, berita kebengisan dengan masyarakat sendiri, nyatanya tidak semua demonstrasi berakhir dengan kekerasan. Di Sumatra Barat, unjuk rasa yang digelar di depan Gedung DPRD berlangsung damai dan tertib. Makna demonstrasi sebagai partispasi, meskipun partipasi non konvensional karena berakar pada kesadaran mengenai pentingnya peran rakyat dalam mengisi ruang kosong demokrasi, ribuan mahasiswa yang tergabung dalam aliansi BEM se-Sumbar dan organisasi kepemudaan Cipayung Plus Kota Padang menyampaikan aspirasi tanpa satu pun kerusakan yang terjadi, tidak ada yang terluka, tidak ada korban jiwa yang tergeletak. Hanya orasi sebagai perwakilan dari suara rakyat agar tidak hilang lantas dilupakan. Bahkan, Wakil Gubernur Sumatra Barat, Vasko Ruseimy, turut hadir untuk mendengarkan langsung keluhan rakyat. Menegaskan bahwa aksi damai ini mencerminkan nilai luhur Minangkabau, Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Contoh ini membuktikan bahwa demonstrasi dapat menjadi ruang dialog yang konstruktif jika kedua belah pihak saling menghormati.
Bubarkan DPR yang kerap digaungkan dalam demonstrasi memang mencerminkan kekecewaan mendalam rakyat. Namun, pembubaran DPR bukanlah solusi yang konstitusional. Dan pasca demontarasi, banyak masyarakat yang memiliki kesadaran, bahwa masalah tidak akan berhenti dengan hanya membubarkan DPR melainkan berisiko menjadi tirani absolut di mana presiden dapat bertindak tanpa pengawasan. Banyak solusi lain yang bermunculan, seperti reformasi internal DPR melalui pemilihan umum yang lebih transparan dan berbasis meritokrasi. Serta menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan, tidak hanya melihat dari satu sudut pandang saja, menciptakan jalan keluar tanpa menutup berbagai alternatif yang justru akan memberikan dampak demino pada berbagai bidang. Selain itu, Masyarakat juga mendapatkan edukasi politik, bahwa objektifitas adalah hal penting dalam memilih wakil rakyat. Berdasarkan kompetensi, bukan hanya menunaikan pemilihan sebagai simbol uang atau janji palsu, melainkan menjadikan pemilihan umum sebagai sebuah panggung rakyat, pesta demokrasi sebagai ajang menunaikan partisipasi yang hadir dari kesadaran.