Oleh: Gilang Gardhiolla Gusvero, Wartawan
Miris. Sedih. Kecewa. Entah ekspresi apa yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan ketika menyambut ulang tahun ke-80 Sumatera Barat, 1 Oktober 2025. Ranah Minang nan sarat makna, kini menua bersama Indonesia. Tapi apakah usia yang panjang ini sepadan dengan kebahagiaan dan kemajuan yang semestinya dirasakan masyarakatnya?
Dulu, Sumatera Barat dikenal sebagai tanah para pemikir besar dan pejuang bangsa. Dari rahim Minangkabau lahir tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan Haji Agus Salim. Mereka bukan sekadar pejuang kemerdekaan, tetapi pembentuk fondasi moral dan intelektual Republik ini.
Nilai-nilai adat Minangkabau, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) menjadi napas perjuangan mereka. Dari surau kecil di kampung, lahir gagasan besar tentang kemerdekaan, keadilan sosial, dan martabat manusia.
Namun, masa itu telah lewat. Waktu terus berjalan, generasi berganti, dan semangat idealisme perlahan tergeser oleh kebanggaan semu bernama popularitas.
Beberapa waktu lalu, publik Sumatera Barat ramai membicarakan kabar yang dianggap membanggakan. Dalam laporan Social Media Analytic 2025, Wakil Gubernur Sumatera Barat menempati posisi teratas sebagai wakil gubernur paling populer di Indonesia, dengan skor hampir sempurna—95 dari 100.
Media sosial riuh. Warganet bersorak. Seolah-olah popularitas menjadi ukuran keberhasilan kepemimpinan. Namun, di balik gegap gempita itu, pertanyaan mendasar justru muncul:
Apakah popularitas cukup untuk membuat Sumatera Barat melangkah maju?
Di tengah sorotan terhadap tokoh populer itu, menurut goodstats.id menunjukkan fakta bahwa Sumatera Barat kini berada di posisi ke-31 dari 38 provinsi dengan pertumbuhan ekonomi hanya 3,94 persen. Jauh dari target 6,4 persen yang diharapkan. Bahkan di tingkat Sumatera, posisi Sumbar hanya di urutan ke-10.
Ironi itu semakin terasa ketika menengok kehidupan masyarakat sehari-hari. Di beberapa daerah, angka stunting masih tinggi. Peredaran narkoba kian meluas. Peluang ekonomi berjalan lambat.
Semua fakta itu menunjukkan bahwa di balik slogan dan kebanggaan sejarah, Sumatera Barat masih berjuang melawan ketimpangan dan stagnasi. Sebuah kontras tajam antara warisan kebesaran masa lalu dan kenyataan masa kini.
Ulang tahun ke-80 seharusnya bukan hanya momen perayaan, melainkan waktu untuk bercermin. Sudah saatnya para elite Sumatera Barat bersatu mencari solusi nyata untuk membangkitkan kembali kejayaan daerah ini. Popularitas semata tidak akan membawa perubahan tanpa kerja keras, komitmen, dan visi pembangunan jangka panjang.
Sumatera Barat pernah menjadi rumah bagi pemikir besar dan pejuang tangguh. Kini, ia harus kembali menjadi rumah bagi gagasan-gagasan besar dan langkah nyata untuk kemajuan rakyatnya.
Selamat ulang tahun ke-80, Sumatera Barat. Semoga usia panjang ini bukan sekadar angka, tetapi menjadi tanda kebangkitan baru. Dari ranah kebanggaan menuju tanah perubahan.