TERBARU

Dari Meja Thanksgiving ke Dulang Badoa: Cerita Syukur yang Tak Pernah Berubah

25
×

Dari Meja Thanksgiving ke Dulang Badoa: Cerita Syukur yang Tak Pernah Berubah

Sebarkan artikel ini

Oleh: Fitri Nurul Hikmah

Padang,relasipublik – Setiap hari Kamis keempat di bulan November, keluarga di Amerika Serikat berkumpul menyantap kalkun panggang dan pai labu dalam perayaan Thanksgiving, ungkapan syukur atas panen dan berkah hidup. Di Minangkabau, tradisi serupa hadir dalam bentuk Badoa yaitu makan bersama di atas dulang besar sebagai bentuk rasa terima kasih atas kelancaran hajatan, kelahiran, atau sekadar kebersamaan. Meski terpisah benua, kedua tradisi ini menyuarakan pesan yang sama yaitu syukur paling indah dirayakan bersama.

Thanksgiving berakar dari perayaan panen musim gugur tahun 1621 di Plymouth, Massachusetts, ketika 53 kolonis Pilgrim yang selamat dari musim dingin yang keras mengadakan pesta tiga hari bersama sekitar 90 anggota suku Wampanoag, termasuk pemimpin mereka Massasoit, sebagai bentuk syukur atas panen jagung yang berhasil hasil dari bantuan suku asli yang mengajari mereka bertani di tanah baru. Meski peristiwa ini sering disebut Thanksgiving pertama, hari tersebut belum menjadi tradisi nasional saat itu.

Baru pada 1863, di tengah Perang Saudara Amerika, Presiden Abraham Lincoln secara resmi menetapkan Thanksgiving sebagai hari libur nasional tahunan pada Kamis terakhir November, atas dorongan penulis Sarah Josepha Hale yang ingin menjadikannya simbol persatuan bangsa. Sejak itu, Thanksgiving berkembang menjadi momen sakral bagi keluarga Amerika untuk berkumpul, berbagi makanan, dan mengungkapkan rasa syukur bukan hanya atas kelimpahan, tapi atas kebersamaan itu sendiri. Pada hari Thanksgiving, keluarga berkumpul untuk makan bersama dengan menu khas seperti kalkun panggang, saus cranberry, ubi jalar, dan pai labu. Selain makan, banyak keluarga juga memiliki tradisi mengungkapkan hal yang mereka syukuri, menonton parade (seperti Macy’s Thanksgiving Day Parade), atau menonton pertandingan sepak bola Amerika. Meski berakar dari perayaan panen tahun 1621 antara kolonis Pilgrim dan suku Wampanoag, kini Thanksgiving telah menjadi hari libur sekuler yang dirayakan lintas agama dan latar belakang, dengan fokus utama pada kebersamaan keluarga, rasa syukur, dan berbagi.

Sementara itu, Badoa adalah tradisi makan bersama dalam budaya Minangkabau yang menjadi wujud nyata rasa syukur atas kelancaran hajatan, panen, kelahiran, atau berkah kehidupan-mirip dengan semangat Thanksgiving di Amerika. Dalam Badoa, warga duduk melingkar di atas tikar, menyantap nasi dan lauk dari satu dulang besar, tanpa perbedaan status, mau itu tua-muda, kaya-miskin, semua duduk dengan posisi yang sama. Tradisi ini bukan sekadar soal kenyang, tapi tentang kebersamaan, kesopanan, dan nilai adat-seperti saling menghargai, tidak rakus, dan memulai dengan doa syukur. “Ini bukan sekadar makan,” kata Al Fatih, mahasiswa Sastra Minangkabau Universitas Andalas. “Dalam Badoa, semua orang duduk setara, baik itu tua-muda, kaya-miskin. Selain itu Badoa juga cerminan dari rasa syukur kepada Allah. Itu cerminan nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Seperti halnya keluarga di AS yang berkumpul untuk makan kalkun dan mengucap terima kasih, masyarakat Minang juga telah lama merayakan syukur lewat rendang, gulai, dan kehangatan dulang yang sama.

Menariknya, nilai-nilai ini juga ditemukan dalam Thanksgiving meski secara geografis jauh. Salma Fariska, mahasiswa Sastra Inggris di kampus yang sama, menjelaskan dari perspektif studi budaya: “Lewat mata kuliah Introduction to American Cultur, saya belajar bahwa Thanksgiving adalah buday yang menghadirkan rasa kekeluargaan, saling berbagi cerita, dan menghargai apa yang dimiliki. Rasanya mirip dengan suasana Badoa di kampung saya hangat, tulus, dan penuh makna.”

Kedua tradisi ini bertujuan untuk meningkatkan rasa kebersamaan, dan kerendahan hati bukan kemewahan hidangan. Di tengah dunia yang semakin digital, momen seperti ini menjadi pengingat bahwa manusia butuh ruang nyata untuk saling bertemu, mendengar, dan berbagi. Perbandingan antara Thanksgiving dan Badoa menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan universal seperti syukur, kekeluargaan, dan kesetaraan bisa muncul dalam bentuk budaya yang berbeda, namun tetap saling mengerti. Salma dan Fatih sepakat: “Kita tak perlu memilih antara kalkun atau rendang. Keduanya bisa jadi simbol bahwa semuanya akan terasa lebih indah kalau kita mensyukuri hal-hal yang sudah diberikan oleh Tuhan.”

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *