Kriminal

Ketika Cinta Mati di Tangan Manusia: Vonis yang Mengguncang Nurani Tanah Datar

67
×

Ketika Cinta Mati di Tangan Manusia: Vonis yang Mengguncang Nurani Tanah Datar

Sebarkan artikel ini

sumbar.relasipublik.com // Tanah Datar

Dibalik ketukan palu hakim di ruang sidang Pengadilan Negeri Tanah Datar, Selasa (14/10), bukan hanya dua orang yang diadili—tetapi juga nurani sebuah generasi. Dua pemuda, Noval Julianto dan Bima Dwi Putra, akhirnya menerima putusan atas kejahatan yang membungkam hati banyak orang: pembunuhan dan pelecehan terhadap siswi MTsN Sumanik, Kecamatan Salimpaung Cinta Novita Sari yang jasanya ditemukan dalam karung pada 19 Februari 2025 lalu.
Noval divonis hukuman mati, sementara Bima dijatuhi 18 tahun penjara.

Suasana sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sylvia Yudiastika, SH, MH, seolah menjadi ruang pengadilan bagi lebih dari sekadar hukum—ia juga menjadi ruang duka dan refleksi bagi masyarakat Tanah Datar. Dalam keheningan yang nyaris mencekam, hakim membacakan amar putusan dengan nada yang tegas namun bergetar:

“Perbuatan ini dilakukan secara sadar, dengan niat jahat yang matang, dan tanpa tekanan pihak mana pun. Korban adalah anak di bawah umur, seorang pelajar yang masih punya masa depan,” tegas Sylvia.

Keadilan di Tengah Luka Kolektif

Kasus Cinta bukan sekadar cerita kriminal, tapi potret buram dari kegagalan moral yang lahir di tengah masyarakat yang sering abai pada arah tumbuh kembang remajanya.
Noval, pelaku utama diketahui menjerat korban hingga kehabisan napas, lalu menodai jasadnya. Aksi yang bahkan sulit dipercaya dilakukan oleh seseorang yang masih berusia muda.
Bima, sahabatnya, justru membantu menutupi jejak dosa itu dengan sarung dan karung—aksi dingin yang menghapus batas antara solidaritas dan kebodohan moral.

Jaksa Penuntut Umum Handika Wiradi Putra, SH, MH bersama timnya menyebut tindakan mereka sebagai “kejahatan yang mencederai nilai kemanusiaan dan moral bangsa.”

“Ini bukan hanya soal pembunuhan. Ini tragedi yang mengguncang rasa kemanusiaan kita. Korban adalah anak perempuan di bawah umur, dan pelaku melanjutkan tindakannya dengan pelecehan terhadap jenazah,” ujarnya selepas sidang.

Vonis dan Dilema Nurani

Hukuman mati terhadap Noval disambut beragam reaksi. Di luar ruang sidang, sebagian masyarakat menilai vonis itu adil, sebagian lagi bergeming dalam dilema: apakah hukuman mati bisa menghidupkan kembali Cinta—atau justru menutup pintu perenungan bagi bangsa yang sedang krisis empati?

Tangis warga pecah di pelataran pengadilan. Beberapa orang menggenggam foto Cinta Novita Sari, siswi cerdas yang dikenal santun di lingkungannya.
“Cinta harus dapat keadilan yang setimpal,” ujar seorang warga dengan mata sembab.

Namun di balik semua itu, perdebatan moral tetap bergema. Apakah pembunuhan bisa ditebus dengan kematian pelaku? Atau adakah cara lain bagi keadilan untuk benar-benar hidup—yakni memastikan tragedi semacam ini tak terulang lagi?

Pelajaran Pahit dari Tanah Datar

Kasus Cinta adalah alarm keras bagi dunia pendidikan, keluarga, dan lingkungan sosial. Ia mengingatkan bahwa di balik gawai, ruang sunyi, dan pergaulan bebas tanpa pengawasan, bisa tumbuh benih kelam yang mematikan masa depan anak-anak bangsa.

Tanah Datar, yang dikenal religius dan beradat, kini tercatat dalam sejarah kelam kriminalitas remaja di Sumatera Barat.
Vonis mungkin sudah dijatuhkan, namun luka kolektif masyarakat masih jauh dari sembuh.

Tragedi ini menutup bab kehidupan seorang anak bernama Cinta Novita Sari, namun sekaligus membuka pertanyaan besar yang belum terjawab:
Apakah kita, sebagai bangsa, sudah cukup mencintai anak-anak kita dengan memberi mereka ruang aman untuk tumbuh—atau justru membiarkan cinta itu mati di tangan manusia?(d13)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *