Kabupaten Tanah Datar

Ketika Diam Jadi Luka Kedua: Oknum ASN Tanah Datar yang Hina Wartawan Masih Bungkam

30
×

Ketika Diam Jadi Luka Kedua: Oknum ASN Tanah Datar yang Hina Wartawan Masih Bungkam

Sebarkan artikel ini

sumbar.relasipublik.com //  Tanah Datar

Tujuh hari berlalu sejak kasus komentar yang diduga merendahkan profesi wartawan oleh seorang oknum ASN Dinas Pendidikan Tanah Datar berinisial HHN mencuat ke publik. Namun hingga kini, tak sepatah kata pun permintaan maaf terucap dari yang bersangkutan.

Diam yang dibiarkan terlalu lama kini berubah menjadi luka kedua — bukan hanya bagi insan pers, tetapi juga bagi wajah birokrasi yang seharusnya menjunjung nilai etika dan kehormatan publik.

Kasus ini bermula dari unggahan HHN di grup publik Salingka Tanah Datar yang menulis kalimat menohok:

“IQ jurnalistik jongkok, suka membesar-besarkan masalah dan menyampaikan bahwa media menakut-nakuti kepala sekolah untuk mencari hidup.”

Meski unggahan itu telah dihapus, jejak digitalnya keburu menyebar, menimbulkan gelombang kritik dan kekecewaan dari kalangan wartawan dan masyarakat.

Ketua AWI Tanah Datar, Farid Alkausar, menegaskan kembali sikap tegas organisasi pers yang dipimpinnya.

“Kami sudah menunggu itikad baik. Tapi kalau sampai hari ini tidak ada niat meminta maaf secara terbuka, ini menunjukkan arogansi dan ketidakdewasaan seorang ASN,” tegas Farid, Minggu (19/10).

Ia menilai, sikap diam HHN bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan cerminan rendahnya kesadaran etika digital di kalangan aparatur sipil negara.

“ASN itu bukan warga biasa di ruang publik. Setiap ucapannya mencerminkan institusi tempat ia bekerja. Apalagi ia berasal dari Dinas Pendidikan, yang seharusnya menjadi contoh dalam hal moral dan literasi,” lanjut Farid.

Pihak AWI Tanah Datar mengaku telah mengirim pesan dan memberikan kesempatan agar HHN meminta maaf secara publik. Jika tidak diindahkan, opsi hukum akan ditempuh.

Sementara itu, sejumlah wartawan senior di Tanah Datar menilai bahwa kejadian ini menjadi peringatan keras tentang pentingnya literasi media di era digital.

“Menghina profesi wartawan berarti menolak keterbukaan informasi. Padahal media bukan musuh, tapi jembatan antara rakyat dan pemerintah,” ujar seorang jurnalis senior yang enggan disebutkan namanya.

Secara hukum, komentar HHN berpotensi melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE tentang pencemaran nama baik, dengan ancaman pidana empat tahun penjara atau denda hingga Rp750 juta.

Namun di luar ancaman hukum, persoalan ini juga menyentuh sisi moralitas publik. Masyarakat kini bertanya: bagaimana mungkin seorang ASN yang digaji dari uang rakyat bisa begitu mudah merendahkan profesi yang justru menjaga transparansi bagi publik?

Kasus HHN menjadi cermin bahwa kebebasan berpendapat tanpa tanggung jawab hanyalah bentuk baru dari kebebasan yang liar. Dan diamnya seorang pejabat publik setelah melukai, sama saja dengan membiarkan luka itu bernanah di ruang kepercayaan masyarakat.

“Maaf bukan sekadar kata. Ia adalah tanda bahwa seseorang masih punya empati. Jika empati itu hilang, maka jabatan dan status hanyalah pakaian kosong,” tutup Farid dengan nada getir(d13)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *