Opini

Dari Kelas ke Jalan: Solidaritas Guru Madrasah dan Honorer Menagih Keadilan Status

30
×

Dari Kelas ke Jalan: Solidaritas Guru Madrasah dan Honorer Menagih Keadilan Status

Sebarkan artikel ini

Oleh : Muhammad Raihanul Hafidz
2310831034

Suara gaung demonstrasi bergema di kawasan Monas dan Patung Kuda, Jakarta, pada akhir Oktober 2025. Ribuan guru honorer madrasah dari seluruh Indonesia berdatangan, meninggalkan ruang kelas mereka untuk memperjuangkan sesuatu yang seharusnya sudah menjadi hak: keadilan status kepegawaian. Mereka tidak datang dengan tangan kosong, tetapi dengan pengalaman puluhan tahun mengabdi, dengan dedikasi mengajar di tengah keterbatasan, dan dengan harapan yang telah berkali-kali tertunda. Gerakan ini bukan sekadar aksi protes biasa, ini adalah manifestasi ketidakadilan sistemik yang telah lama tertanam dalam struktur pendidikan nasional kita.

Ketidakadilan yang Terakar Dalam
Sistem perekrutan dan pengelolaan tenaga pendidik di Indonesia telah menciptakan kasta sosial di antara para pendidik. Guru honorer madrasah tidak hanya menerima gaji rendah, tetapi juga menerima perlakuan yang jauh berbeda dari guru honorer di sekolah umum.

Data menunjukkan bahwa rata-rata gaji guru honorer Madrasah Ibtidaiyah (MI) hanya Rp780 ribu per bulan, Madrasah Tsanawiyah (MTs) sebesar Rp785 ribu, dan Madrasah Aliyah (MA) hanya Rp984 ribu per bulan. Angka ini jauh tertinggal dibanding gaji guru honorer di tingkat SD sekolah umum yang mencapai Rp1,2 juta, apalagi di tingkat SMA yang mencapai Rp2,7 juta.

Lebih ironis lagi, dari total 981.296 guru madrasah di Indonesia, hanya 24,4 persen yang telah tersertifikasi, berarti lebih dari 741.000 guru masih menunggu sertifikasi yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan mereka. Organisasi Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bahkan memperkirakan bahwa dengan kuota Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk guru madrasah hanya 9.000 orang per tahun, waktu tunggu untuk sertifikasi bisa mencapai 53 tahun, lebih lama dari antrian haji sekalipun.

Perjuangan Kolektif Menentang Diskriminasi

Yang membuat gerakan ini unik adalah solidaritas yang ditunjukkan. Guru-guru honorer madrasah tidak menunggu dukungan pemerintah atau organisasi besar; mereka secara swadaya mengumpulkan iuran untuk membiayai aksi bersama. Ribuan guru dari berbagai provinsi, termasuk 1.000 guru dari Kabupaten Pandeglang saja, rela meninggalkan tugas mengajar dan mengeluarkan biaya pribadi untuk berangkat ke Jakarta. Ini bukan sekadar demonstrasi, ini adalah bentuk ketahanan dan komitmen nyata terhadap perjuangan hak asasi mereka.​
Tuntutan mereka sangat jelas, pertama, pemerintah harus merevisi regulasi agar guru madrasah swasta dapat diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), sama seperti guru honorer di sekolah umum. Kedua, pemerintah daerah harus memberikan insentif bulanan bagi guru honorer madrasah swasta. Ini bukan permintaan yang berlebihan, hanya tuntutan untuk keadilan yang sama.

Panggilan Moral untuk Perubahan
Gerakan guru honorer madrasah adalah peringatan keras bagi pemerintah bahwa ketidakadilan tidak bisa terus ditoleransi. Mereka adalah “anak tiri” dalam sistem tata kelola pendidikan nasional, sebagaimana dikatakan oleh para ahli. Padahal, mereka memiliki tanggung jawab yang sama beratnya dengan guru sekolah umum dalam mendidik generasi muda bangsa. Ketika pemerintah memilih untuk membedakan kesejahteraan mereka berdasarkan lembaga tempat mereka mengajar, bukan berdasarkan kompetensi atau dedikasi, maka pemerintah telah melanggar prinsip keadilan dasar.

Solidaritas guru madrasah menunjukkan bahwa ketika hukum dan kebijakan gagal memberikan keadilan, masyarakat akan mengambil tindakan sendiri. Mereka membuktikan bahwa ketidakadilan dapat disatukan melalui perjuangan bersama yang tulus dan gigih.

Penutup

Gerakan “Dari Kelas ke Jalan” ini harus menjadi titik balik. Pemerintah tidak lagi dapat mengabaikan atau menunda-nunda perjuangan guru honorer madrasah. Kesejahteraan guru harus menjadi prioritas strategis nasional, bukan sekadar isu yang dibicarakan di ruang pertemuan tanpa tindakan nyata. Jika pemerintah benar-benar berkomitmen pada kualitas pendidikan, maka langkah pertama adalah memastikan bahwa mereka yang mendidik generasi bangsa terlepas dari institusi mana tempat mereka mengajar menerima pengakuan dan kesejahteraan yang layak. Solidaritas guru madrasah adalah solidaritas untuk keadilan pendidikan Indonesia. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk melahirkan kebijakan yang adil dan implementasi nyata yang membawa perubahan. Semua dimulai dari mendengarkan suara mereka dan bertindak nyata, bukan sekadar janji yang hilang di angin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *