Opini

Momen Transisi dan Taktik Butuh : PPN 12% Sebagai Kesempatan Politik

21
×

Momen Transisi dan Taktik Butuh : PPN 12% Sebagai Kesempatan Politik

Sebarkan artikel ini

Oleh : Muhammad Azmi Baihaqi

Awal tahun 2025 menandai babak yang penuh gejolak bagi ekonomi rumah tangga Indonesia. Para pekerja dihadapkan pada dua kebijakan yang bertolak belakang. Di satu sisi, ada pengumuman kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5%. Di sisi lain, bayangan kian gelap menyelimuti daya beli rakyat jelata dengan hadirnya kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang berlaku mulai 1 Januari 2025.

Dua kebijakan yang berjalan paralel ini seketika memicu respons keras dari akar rumput. Bagi buruh, kenaikan upah yang minimalis nyaris tak berarti jika harus berhadapan dengan kenaikan harga barang dan jasa akibat tambahan beban pajak. Ini seperti memberikan gula di satu tangan, lalu mengambilnya kembali dengan beban yang lebih besar di tangan yang lain.

Gerakan buruh, yang dipimpin oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh di bawah komando Said Iqbal, berdiri di garis depan penolakan. Ancaman mogok nasional yang melibatkan jutaan buruh dilemparkan ke meja pemerintah. Mereka menuntut pembatalan kenaikan PPN dan mendesak kenaikan upah minimum di angka yang lebih layak, yakni 8-10.

Rencana kenaikan PPN menjadi 12% adalah amanat dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang ditetapkan sejak 2021. Pemerintah bersikukuh bahwa kebijakan ini sekadar menjalankan ketentuan hukum.

Namun, yang menjadi masalah adalah dampak dan waktu penerapannya. Presiden KSPI Said Iqbal benar ketika mengatakan PPN adalah pajak regresif; beban terbesarnya ditanggung oleh masyarakat dengan penghasilan rendah. Dengan daya beli yang sudah tergerus inflasi, tambahan 1% PPN adalah pukulan telak. Kekhawatiran ini diamini para ekonom. Ekonom Ronny P. Sasmita bahkan memperingatkan bahwa kenaikan PPN berpotensi menurunkan konsumsi rumah tangga secara keseluruhan, yang pada gilirannya mengancam target pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, pengumuman kenaikan upah minimum sebesar 6,5% oleh Presiden Prabowo Subianto memang lebih tinggi dari rata-rata kenaikan tahun sebelumnya (3,6%). Namun, angka tersebut dinilai jauh dari cukup oleh serikat buruh untuk menutupi kebutuhan hidup layak. Kenaikan 6,5% yang membuat rata-rata upah minimum nasional mencapai sekitar Rp 3,3 juta dinilai belum mampu mengimbangi lonjakan harga barang pokok yang pasti terjadi. Serikat buruh menuntut 8–10% untuk dapat mengimbangi kebutuhan hidup dan dampak PPN.

Gerakan buruh dengan cerdik memanfaatkan momentum transisi pemerintahan dari era Jokowi ke Prabowo Subianto. Pergantian kekuasaan seringkali menciptakan apa yang disebut sebagai struktur kesempatan politik celah di mana tekanan sosial dapat direspons lebih terbuka. Pemerintahan baru, yang masih sibuk membangun legitimasi, cenderung lebih responsif terhadap tuntutan publik.
Fakta bahwa usulan kenaikan upah minimum yang awalnya 6% bisa naik menjadi 6,5% setelah pertemuan Presiden dengan pimpinan serikat buruh adalah bukti nyata bahwa ruang negosiasi itu ada. Gerakan buruh mengidentifikasi momen ini sebagai waktu terbaik untuk menekan, karena legitimasi pemerintahan baru masih rentan.

Selain itu, penolakan PPN 12% tidak hanya datang dari buruh. Kritik juga mengalir deras dari ekonom, pengusaha kecil, bahkan beberapa anggota parlemen. Adanya perpecahan dalam elite politik dan tekanan publik yang luas menjadi legitimasi tambahan. Ketika kekhawatiran pengusaha tentang penurunan daya beli selaras dengan keluhan buruh, posisi tawar gerakan buruh semakin kuat, karena isu yang mereka bawa adalah masalah publik yang lebih luas.

Kondisi ekonomi rakyat yang sulit inflasi tinggi, daya beli menurun, dan ancaman PHK semakin memperkuat potensi mobilisasi. Kesulitan ekonomi ini meningkatkan sense of urgency di kalangan pekerja. Framing yang dibangun KSPI bahwa kebijakan pemerintah “menekan rakyat kecil” dan menciptakan “ketimpangan sosial yang lebih dalam” pun menjadi sangat beresonansi, mendorong jutaan pekerja merespons seruan aksi.

KSPI memiliki kapasitas organisasi yang mumpuni dengan jaringan luas, memungkinkan mereka mengklaim mampu memobilisasi hingga 5 juta buruh. Partai Buruh bahkan memberikan dimensi politik elektoral tambahan.

Strategi yang paling menonjol adalah strategi framing yang efektif. Gerakan ini berhasil membingkai isu dalam tiga narasi utama: Diagnosis (masalahnya PPN 12% dan upah rendah), Prognosis/Solusi (tuntutannya jelas: naikkan upah 8-10%, batalkan PPN 12%, dan alihkan beban pajak ke korporasi), dan Motivasi (menggunakan narasi keadilan sosial dan melawan kebijakan yang dianggap “membebani rakyat kecil”).

Framing ini berhasil menarik simpati kelas menengah dan masyarakat umum.
Pilihan aksi berupa ancaman mogok nasional adalah repertoire klasik yang terbukti ampuh. Sebuah mogok yang melibatkan 5 juta buruh akan melumpuhkan sektor manufaktur dan industri padat karya, menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi. Penetapan jadwal mogok menjelang implementasi PPN pada 1 Januari 2025 dan di akhir tahun saat aktivitas ekonomi sedang tinggi adalah langkah yang sangat strategis.

Tidak hanya di jalanan, gerakan buruh juga piawai memanfaatkan teknologi. Penggunaan media sosial menjadi alat mobilisasi modern. Tagar seperti #TolakPPN12Persen menjadi viral, bahkan berhasil menarik perhatian komunitas yang tidak biasa terlibat, seperti komunitas K-pop Indonesia. Media sosial memperluas basis dukungan di luar anggota serikat formal, mengubah isu sektoral menjadi kepentingan publik yang lebih luas.
Hasil dari tekanan ini terlihat.

Pemerintah memang menaikkan upah minimum menjadi 6,5%. Namun, terkait PPN 12%, pemerintah tetap bersikukuh melaksanakannya sesuai UU. Pemerintah hanya menawarkan insentif dan bantuan sosial sebagai kompensasi.
Melihat respons pemerintah, ancaman mogok nasional kaum buruh jelas belum usai. Ini adalah pertaruhan besar bagi pemerintahan yang baru menjabat, apakah mereka akan merespons tuntutan keadilan sosial secara mendasar, ataukah mereka akan memilih jalan pintas dengan mengabaikan daya beli rakyat kecil demi menjalankan amanat undang-undang yang kontroversial. Kekuatan buruh telah dimobilisasi, dan kini bola ada di tangan pemerintah untuk membuktikan komitmen mereka pada kesejahteraan rakyat.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *