Opini

Sampah di Cindua Mato, Tanda Kita Sedang Kehilangan Rasa Memiliki

97
×

Sampah di Cindua Mato, Tanda Kita Sedang Kehilangan Rasa Memiliki

Sebarkan artikel ini

Oleh : Domi Kani (ibu rumah tangga dan Wartawan bertugas di Tanah Datar)

Pemandangan kantong plastik dan bekas makanan yang berserakan di tempat duduk Lapangan Cindua Mato, Batusangkar, bukan sekadar masalah kebersihan. Ia adalah potret yang lebih dalam—potret tentang masyarakat yang perlahan kehilangan rasa memiliki terhadap ruang yang sebenarnya menjadi milik bersama.

Kita sering merayakan Lapangan Cindua Mato sebagai ruang kebanggaan: tempat warga berkumpul, berolahraga, merayakan kebudayaan, dan menyalakan memori kolektif. Namun anehnya, kebanggaan itu seolah hilang begitu saja ketika bungkus makanan dibiarkan tertinggal, ketika plastik kecil dianggap sepele, ketika seseorang bangkit dari tempat duduk tanpa menoleh ke jejak yang ditinggalkannya.

Ini bukan soal kurangnya tempat sampah. Ini tentang kurangnya kepedulian.

Masalahnya sederhana tetapi menyakitkan: kita terlalu akrab dengan kenyamanan, namun terlalu jauh dari tanggung jawab. Kita ingin ruang publik indah, tapi enggan menjaga keindahan itu. Kita marah ketika kota kotor, tetapi diam ketika tangan sendiri yang membuatnya kotor.

Dan di sinilah letak persoalan paling manusiawi: kita lupa bahwa kebersihan ruang bersama adalah cermin dari bagaimana kita menghargai orang lain.
Sampah yang ditinggalkan bukan hanya mengotori lantai atau bangku, tetapi juga mengotori pengalaman orang lain yang datang setelahnya—anak-anak yang ingin bermain, orang tua yang ingin duduk dengan tenang, dan warga yang hanya ingin menikmati sore.

Lebih jauh lagi, sampah yang berserakan adalah tanda bahwa kita sedang mengalami “kehilangan halus”: hilangnya empati pada ruang, hilangnya tanggung jawab kecil, hilangnya kesadaran bahwa hidup berdampingan menuntut disiplin yang sederhana tetapi penting.

Pemerintah boleh saja menambah petugas kebersihan, menambah imbauan, dan memasang kamera. Tetapi perubahan sejati hanya akan lahir saat setiap orang menyadari bahwa ruang publik adalah perpanjangan dari rumah sendiri.
Kita tidak akan pernah membuang sampah seenaknya di ruang tamu—mengapa kita melakukannya di lapangan yang menjadi wajah kota?

Saat kita mampu mengangkat bungkus kecil dan membuangnya pada tempatnya, itu bukan sekadar tindakan teknis. Itu adalah pernyataan: bahwa kita peduli, bahwa kita peka, bahwa kita masih punya rasa hormat pada ruang dan sesama.

Cindua Mato akan bersih bila manusianya selesai berdialog dengan dirinya sendiri. Bukan hanya tentang sampah, tetapi tentang siapa kita sebagai komunitas.

#Yuk,kitajagaCMbersama-sama 😊

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *