BeritaNasional

Rahmat Soleh Kritik Menteri Kehutanan Tidak Menempatkan Deforestasi Sebagai Faktor Utama Memperparah Banjir

16
×

Rahmat Soleh Kritik Menteri Kehutanan Tidak Menempatkan Deforestasi Sebagai Faktor Utama Memperparah Banjir

Sebarkan artikel ini

Jakarta,relasipublik – Anggota Komisi IV DPR RI Rahmat Saleh mengkritisi pemaparan Kementerian Kehutanan yang dinilainya tidak menempatkan deforestasi sebagai faktor utama dalam memperparah bencana banjir dan longsor di Sumatera dalam beberapa waktu terakhir.

Kritik tersebut ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Kehutanan di Jakarta, Kamis (4/12/2025).

Menurutnya, pemaparan Kemenhut tidak menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan.

Rahmat menilai narasi yang dihadirkan kementerian seolah mengesankan deforestasi telah menurun signifikan dan tidak menjadi penyebab utama kerusakan ekologis.

“Tadi di awal Pak Menteri mengutarakan data yang menampilkan bahwa sudah terjadi penurunan deforestasi dari tahun ke tahun. Pesan yang kami tangkap adalah bahwa Kementerian Kehutanan menganggap penyebab utama banjir itu bukanlah deforestasi atau pembalakan hutan,” ujarnya.

Ia mengingatkan agar kementerian tidak menyampaikan informasi yang dapat menyesatkan publik, terutama ketika masyarakat Sumatera masih berada dalam situasi duka.

“Kalau kemudian menganggap deforestasi bukanlah penyebab, itu menurut kami sesuatu yang keliru untuk disampaikan kepada masyarakat,” kata Rahmat.

Ia menambahkan, pejabat seharusnya berhati-hati ketika berkomentar, terlebih ketika ratusan nyawa telah menjadi korban.

Rahmat merujuk pada data periode 2016–2025, di mana hampir 1,4 juta hektar lahan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat digunakan untuk aktivitas 631 perusahaan pemegang izin, termasuk HGU perkebunan sawit, BPPH, dan proyek energi.

Menurutnya, angka tersebut menunjukkan tingkat pemanfaatan kawasan hutan yang masif dan tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya risiko bencana. “Ini angka yang besar,” tegasnya.

Ia juga mengangkat persoalan luas lahan kritis yang mencapai sekitar 12,7 juta hektar pada 2024.

Rahmat mempertanyakan arah kebijakan kementerian dalam mengatasi kondisi tersebut. Baginya, penanganan lahan kritis merupakan kunci untuk mencegah bencana berulang, terlebih ketika di beberapa wilayah Sumatera banjir dan longsor terjadi hampir tiap tahun dengan intensitas yang makin besar.

Dalam rapat tersebut, Rahmat menyampaikan bahwa data ekspor industri kehutanan yang terus meningkat termasuk dari Sumatera Barat juga menjadi indikator bahwa aktivitas pemanfaatan hasil hutan masih berlangsung intensif.

Ia mengingatkan bahwa laju produksi lima perusahaan besar di Sumatera Barat terus naik dari bulan ke bulan.

“Data nanti akan kami berikan. Tidak perlu disebutkan nama PT-nya, tetapi menurut kami ini juga menyumbang besar terhadap bencana banjir,” ucapnya.

Rahmat meminta kementerian untuk lebih jujur dalam membaca kondisi ekologis Sumatera dan tidak sekadar menonjolkan indikator administratif.

Menurutnya, klasifikasi penurunan deforestasi tidak boleh dijadikan dasar untuk menafikan hubungan antara pembalakan hutan dan meningkatnya frekuensi bencana.

“Kami berharap jangan sampai pejabat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hati masyarakat,” katanya.

Ia menekankan bahwa keberpihakan terhadap masyarakat terdampak harus ditempatkan di atas kepentingan retorika pencapaian.

Dengan ratusan korban meninggal dan ratusan lainnya hilang, masyarakat membutuhkan penjelasan yang faktual dan langkah penanganan yang tegas.

Dalam pandangannya, narasi pemerintah tidak boleh memutus hubungan langsung antara kerusakan hutan dan bencana yang saat ini dirasakan masyarakat di Sumatera.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *