Opini

Selamatkan Rakyat, Pasang Alat Peringatan Dini di Hulu-hulu Sungai

22
×

Selamatkan Rakyat, Pasang Alat Peringatan Dini di Hulu-hulu Sungai

Sebarkan artikel ini

*Belajar dari Sumatera

Oleh : Khairul Jasmi

Ujung sejarah kontemporer negeri kita diguncang alam dari Barat, itulah bencana Sumatera. Sebentar lagi, entah bagian mana dari batang tubuh Indonesia akan dihantam musibah. Ini, bukan kabar pertakut, namun ajakan untuk berpikir ulang tentang apa yang segera mesti dilakukan oleh para gubernur dan pemerintah pusat.

Kita tak bisa melawan sungai, namun punya kesempatan mengendalikannya. Jika tidak dilakukan, bencana seperih sekarang, akan terulang. Bahkan, bisa lebih. Cerita berilah aku cinta dari Sumatera, seperti aliran anak-anak sungainya nan sejuk, adalah omong kosong dan merusak sastra, jika sungai berubah menjadi alat pencabut nyawa.

Kisah buruk Sumatera ini, akan terulang jika pemerintah tidak menerapkan manajemen risiko secara ketat. Sumatera adalah pulau dengan sungai-sungai kecil dan besar. Banyak sekali yang pendek. Bahkan ada sungai menengah yang hulu dan muaranya bisa dilihat dari satu titik. Misalnya, Batang Kuranji di Padang.

Dari laut ada ancaman maut, namanya tsunami. Kota paling berbahaya di dunia, Padang disusul San Fancisco. Tak ada alat deteksi dini, padahal sangat perlu. Untuk menyelamatkan rakyat, penting ada jalan evakuasi dan shelter. Banjir dan tanah longsor juga mengintai. Lihatlah Aceh Tamiang misalnya, luluh lantak dibuatnya. Sumatera Utara dan Barat, remuk.

Semua berhulu dari hutan nan merana. Sebagian telah berubah jadi ladang sawit. Tiap batangnya perlu air 13 liter per hari. Anak-anak sungai di Sumatera rapuh sudah. Jika alirannya menyatu lalu menuju ke bawah, pasti kampung-kampung akan dilibasnya. Maka, pasanglah alat deteksi di hulu-hulu sungai. Ini, penting agar nyawa rakyat kita selamat. Antisipasi dari awal, setelah belajar dari banjir Sumatera akhir November 2025.

Ancaman bukan hanya gempa, banjir dan longsor tapi juga dari letusan gunung. Letusan dan magmanya. Sisa apu kepundan Gunung Marapi di Sumbar misalnya, belum turun jutaan meter kubik. Obatnya sabodam dan deteksi di hulu.

Alat deteksi tsunami di laut hilang, dicuri. Alat deteksi letusan Gunung Marapi, dicuri juga. Dapat dipastikan, jika dipasang di hulu sungai akan hilang pula: jika dibiarkan. Orang maling itu memang suka mencuri, tugas aparatlah itu.
Untuk di perkampungan atau kota-kota yang terancam tsunami dan banjir, jika sudah terdeteksi, perlu sirine maraung panjang. Terdengar kemana-mana. Tapi, perlu pula disiapkan lokasi tempat lari. Juga evakuasi. Memang itulah risiko kita— rakyat dan pemerintah Indonesia, wilayah cincin api bencana. Supermarketnya ada di sini.
Dalam bahasa bijaknya, mari kita akrab dengan bencana. Tak bisa akrab-akrab saja, harus ada perkakas dan alat-alat pendukung yang lengkap.Tentu saja edukasi yang tak henti-henti, setelah itu baru akrab. Sama-sama kita, rakyat dan apalagi pemerintah.

Jangan seperti kawan saya, setiap banjir tiba, ia hendak menjual rumahnya, ketika sudah kering, dia lupa. Begitu setiap tahun sampai suatu ketika, banjir sampai di ujung atapnya. Sudah tak bisa lagi diselamatkan.
Catatan baik kita tentang banjir Sumatera, meski belum maksimal, pemerintah pusat dengan segenap perangkatnya terus bekerja tiga provinsi bencana. BUMN misalnya. BNPB sepertinya mati langkah karena anggarannya relatif kecil. Ke depan, BNPB mesti menjadi prioritas. Dan: warga bantu warga tanpa komando.

Pulau Sumatera
—————————————-

Saya menganggap orang lain, seperti saya pula, nilai goegrafi 6,5. Bagaimanapun, ingin dijelaskan sisi mana pada tiga provinsi di Sumetara yang dilanjau banjir.

Kecil di pangkal, besar ke ujung, itulah Sumatera. Tak lurus tegaknya,serong ke dalam. Seperti orang kurus, tampak saja tulang punggungnya, itulah banjaran Bukit Barisan. Tulang punggung itu, ada ruas-ruasnya dan menonjol, itulah gunung berapi yang jumlahnya 36 buah. Gunung-gunung jadi padak Bukit yang berbaris sepanjang 1.650 Km. Membentang dari Gunung Bendahara di Aceh Selatan hingga Gunung Talamus di Lampung. Induk segalanya, Gunung Kerinci 3.085 mdpl dan 35 gunung lainnya. Bukit Barisan dikawal lempeng tektonik Eurasia dan Australia.

Bencana dan Bencana
————————————-

Sebagai kawasan cincin api, maka di Indonesia mininal setiap tahun ada 4.000 kali bencana skala kecil, menengah dan besar. Ini, memerlukan satu badan kuat untuk menanganinya. Juga dana.
BNPB dan BPBD, sangat mendesak diberi anggaran besar bukan untuk rapat, namun untuk mendetaksi daerah aliran sungai berbahaya dari hulu. Kementerian PU seperti Unit Pelaksananya, Balai Sungai, seharusnya sudah lama merenggek minta dana untuk normalisasi sungai di kawasan bencana. Gubernur, jangan “akan ke akan saja,” tapi tak satu juga yang dikerjakan.

Apalagi di Sumatera, bencana sering datang saat warga tidur. Tidur di lereng Bukit Barisan adalah tidur nan lelap. Siang atau malam, bencana itu mengerikan. Rakyat Sumatera sudah sejak 1833 ditempa bencana alam, saat Krakatau meletus. Juga penduduk Pulau Jawa. Jadi DPR sebagai pantulan rakyat, sebaiknya ikut serta memikirkan “jika terjadi bencana alam, maka korban mesti sesedikit mungkin.”

Aceh provinsi yang istinewa sejak 1959 itu, telah merobek kantong air mata, sejak 2004. Tsunami, menerjang, melumat negeri itu. Banjir menimpa Aceh Selatan, Pidie Raya, Nagan Raya dan Aceh Tenggara. Lalu Aceh Tenggara, Langsa, serta Aceh Tamiang dan cakupan yang luas, melebihi musibah tsunami.

Aceh paling parah dari dua provinsi lainnya, juga terbanyak warga meninggal dunia. Wilayah yang diterjang banjir dipastikan bagian dari Bukit Barisan, sebab hampir semua wilayah di sana terhubung ke banjaran

Sumatera Utara, banjir san longsor melanyau delapan kabupaten di sini. Tapanuli Tengah dan Selatan terparah. Kedua wilayah berada di sisi Barat, Bukit Barisan. Menjadi bagian dari Pantai Barat Sumatera. Punya topografi yang tidak datar, subur dan curah hujan ang tinggi.

Sumbar, seolah didesak oleh Bukit Barisan ke Pantai Barat, sehingga agak sempit. Di daerah yang sempit itu, banyak sungai yang bermuara ke Pantai Barat atau Samudera Indonesia. Sungai itu pendek-pendek saja. Airnya deras, batunya banyak dan tebingnya curam. Berbanding terbalik dengan sungai yang bermuara ke Pantai Timur Sumetara, misal Batang Hari dan Sungai Musi, panjang, santai dan berbelok-belok.

Pantai Barat dan Timur di Sumatera seperti saudara kembar yang punya gaya berbeda. Pola hidup penduduk yang tak sama. Barat lebih gampang melibat jajaran Bukit Barisan. Tapi, mereka selalu berkata, “ kami anak Sumatera.”

Masa depan
———————

Ini soal masa depan tiga provinsi yang dihempas nasib nan sama di ujung 2025. Setelah dibuatkan huntara, maka disusul huntap dan menata hidup kembali. Memulai dari nol. Membangun rumah tidaklah susah, tapi mendirikan rumah tangga di atas rumah itu, bukanlah pekerjaan gampang. Bagi mereka, keduanya sekarang sama susahnya. Namun, dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi ketiga daerah itu, sesudah musibah, akan meningkat, karena banyak uang masuk.

Ke depan, mungkin tak semua masalah akan terurai, karena memang bak serabut. Hidup mesti berjalan terus, seperti jarum jam yang berputar. Lalu, Padang- Medan – Banda Aceh akan terus terhubung oleh bus-bus malam. Sepanjang jalan rumah makan buka terus. Warga satu kota dan lainnya akan saling kunjungi.
Lalu ujung sejarah kontemporer bangsa ini, meliuk bagai selendang penari. Dari Sabang Sampai Merauke, ikatan geografis kita, yang sudah jadi lagu itu, salah satu tiangnya adalah Sumatera. Kita memang satu bangsa satu nusa. Satu tanah air. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *