NasionalTERBARU

Aceh Tamiang, Kalian tidak Sendiri

20
×

Aceh Tamiang, Kalian tidak Sendiri

Sebarkan artikel ini
Wartawan Adrian Tuswandi, penulis dan Wulan, guru SD di Aceh Tamiang, Ahad (28/12)

Khairul Jasmi
(Aceh Tamiang)

Gerimis jatuh berderai di Kuala Simpang, ketika saya datang lagi ke sini, Minggu (28/12/2025). Hari yang sama, seorang guru SD, mengatakan rindu anak didiknya dan entah kapan proses belajar mengajar akan dimulai.

Di tepi jalan, Kuala Simpang saya melihat seorang anak berbaju ultra man, memakai sepatu bot warna hitam, asyik main mobil-mobilan yang ia hela dengan tali rapia. Mungkin sudah sejak tadi ia bermain.
Dan, pasar Kuala Simpang, Tamiang Aceh telah mananti. Sejumlah alat berat tampak membersihkan lumpur di jalan dan gang-gang pasar. Beberapa toko telah buka, meski di depannya masih berlumpur. Sebuah toko membuka setengah pintunya, konsumen membeli slang. Alat berat di seberang tokonya bekerja membersihkan lumpur, yang seolah tak kunjung habis.

Jalan A Yani di Kuala Simpang inj, macet. Beringsut. Kendaraan militer, pengantar bantuan, liputan pers berada di jalan ini. Truk- truk membawa besi dan bahan bangunan bergerak di jalan ke arah Langsa, menuju titik huntara dibangun Danantara.

Saya saksikan, seorang anak kecil berkaus kuning, duduk di dekat sebuah spanduk kecil: dilarang buang sampah di sini. Di seberang jalan, sebelah ke sini, pria paruh baya berdiri. Di tangannya ada sebungkus roti. Mungkin pemberian orang dari Medan.

Ibu Guru SD
———————

Setelah melewati pasar kota kecil ini, di ujung jembatan Aceh Tamiang, saya bertemu seorang ibu muda,
Wulan guru SDit Darul Mukhlishin, tak jauh dari ujung jembatan itu. “Kemarin kami mulai bersihkan sekolah, tapi hujan lagi,” kata dia.

Wulan merasa tidak sendiri sekarang, karena banyak orang baik berdatangan. Aparat bekerja juga ramai. Karena libur, ia menemani suaminya berdagang minuman kopi panas. Rinaldi namanya, yang pekan lalu menyuguhkan kopi enak untuk saya. Saat yang sama, dua prajurit TNI mampir dan belanja kopi serta gorengan.

Menurut Wulan, ia sudah rindu anak didiknya, ingin kembali berdiri di depan kelas. Mendengar riang anak-anak baginya adalah obat.
“Kalian tidak sendiri,” sebuah tulisan mencolok di sebuah mobil niaga dari Medan melaju di jalan raya Tamiang. Antar bantuan, muatanya penuh.
“Ya kami tidak sendiri,” sebut Wulan. Memang hari-hari ini, bejibun orang datang ke Tamiang membawa bantuan.

Gerimis berhenti. Warga hilir mudik dengan motor, banyak yang memakai masker, karena debu beterbangan. Selain melaju dengan kendaraan, sejumlah lainnya duduk depan rumah atau warung. Anak-anak berdiri di tepi jalan yang sama mengharap receh. Mereka anak-anak sekolah yang terpaksa berhenti dulu, disebabkan sekolahnya dimasuki lumpur yang ganas.
Wulan tidak tahu sepenuhnya bagaimana kondisi anak-anaknya sekarang. Walikelas III ini, prihatin pada warga terkena musibah. Namun, ia optimis, Aceh Tamiang pasti bangkit.

Di Aceh Tamiang, 88 warga meninggal dan di tiga provinsi 3.188 fasilitas pebdidikan rusak. Di Tamiang juga, 439 sekolah rusak. Semua perabot dan isinya berantakan. Dari angka itu, 73 rusak berat, 306 sedang dan 60 lainnya rusak ringan. Lalu, ada 58 unit sekolah yang aman.
Aceh Tamiang hari ke-33 pascabanjir, memang lelah. Musibah yang datang di luar perkiraan. Saat ini jumlah pengungsi di Aceh Tamiang sekitar 150 ribu orang, untuk merekalah huntara dibangun. Memang banyak sekali rumah di tepi jalan saja, apalagi di dalam kampung yang ditinggal begitu saja karena tak mungkin lagi didiami. **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *