Opini

Antara Jalan Rusak dan Hujatan—Saatnya Melihat Masalah Tanah Datar dengan Kepala Dingin

59
×

Antara Jalan Rusak dan Hujatan—Saatnya Melihat Masalah Tanah Datar dengan Kepala Dingin

Sebarkan artikel ini

Oleh : Domi Kani (ibu rumah tangga dan wartawan bertugas di Tanah Datar )

Kerusakan jalan di Kabupaten Tanah Datar memang menjadi persoalan nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Banyak ruas jalan yang berlubang, tergenang ketika hujan, bahkan membahayakan pengendara. Tak heran, keluhan dan kritik pun terus bermunculan. Namun beberapa waktu terakhir, kritik itu berubah menjadi hujatan yang diarahkan kepada Bupati Eka Putra, seolah-olah seluruh persoalan itu hanya bertumpu pada satu figur.

Padahal, persoalan jalan rusak bukanlah masalah sederhana yang bisa diselesaikan dalam hitungan hari. Infrastruktur adalah pekerjaan jangka panjang yang dipengaruhi banyak faktor—mulai dari kemampuan anggaran, status kewenangan jalan (apakah berada di bawah kabupaten, provinsi, atau pusat), kondisi geografis, hingga kualitas kontraktor dan cuaca ekstrem yang belakangan makin sering terjadi. Di Tanah Datar, topografi berbukit dan intensitas hujan yang tinggi membuat jalan cepat mengalami degradasi, terutama jika tidak didukung drainase memadai.

Mengkritik pemerintah adalah hak publik, bahkan wajib dilakukan untuk mengawasi jalannya pembangunan. Namun, ketika kritik berubah menjadi hujatan—tanpa memahami konteks dan proses anggaran—maka yang muncul bukan penyelesaian, melainkan kegaduhan. Hujatan tidak memperbaiki jalan, hanya memperkeruh suasana.

Perlu diingat, Pemkab Tanah Datar dalam beberapa tahun terakhir justru cukup agresif mengalokasikan anggaran infrastruktur, meski APBD tidak besar dan harus dibagi untuk banyak sektor vital lain seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Di sisi lain, beberapa ruas jalan yang rusak parah justru bukan berada di bawah kewenangan kabupaten, sehingga pemerintah daerah hanya bisa mendorong, mengusulkan, dan menagih janji pihak provinsi atau pusat—bukan serta-merta memperbaikinya sendiri.

Masyarakat berhak marah, berhak menuntut, tetapi perlu juga menyadari bahwa penyelesaian jalan rusak membutuhkan sinergi, bukan sekadar menyalahkan. Jalan adalah urat nadi ekonomi, dan kerusakannya memang harus menjadi prioritas. Namun dalam demokrasi yang sehat, kritik harus dibangun di atas data dan solusi, bukan emosi semata.

Bupati Eka Putra dalam berbagai kesempatan sudah menyampaikan komitmen untuk memperbaiki infrastruktur, dan sejumlah perbaikan sudah berjalan. Namun tentu tidak semua dapat diselesaikan sekaligus. Tugas masyarakat bukan hanya menagih, tetapi juga mengawasi, memahami alur anggaran, dan mendorong kolaborasi antarlembaga.

Di tengah banyaknya hujatan, satu hal yang perlu ditekankan: membangun daerah tidak bisa dilakukan dengan saling menyalahkan, tetapi dengan memperkuat kerja sama. Menagih solusi boleh, mengkritik wajib, tapi hujatan tak akan pernah melicinkan jalan yang berlubang.

Jika Tanah Datar ingin maju, maka energi bersama harus diarahkan pada pemecahan masalah—bukan mencari kambing hitam. Jalan rusak bisa diperbaiki, tapi hanya bila kita memilih cara yang benar: komunikasi sehat, kritik konstruktif, dan dorongan untuk percepatan pembangunan, bukan caci maki yang menyesatkan fokus kita dari tujuan sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *