Pendidikan

APA YANG TERJADI SETELAH SEBUAH GERAKAN MAHASISWA TIDAK LAGI VIRAL?

25
×

APA YANG TERJADI SETELAH SEBUAH GERAKAN MAHASISWA TIDAK LAGI VIRAL?

Sebarkan artikel ini

Gelombang demonstrasi mahasiswa bergulir. Timeline media sosial dipenuhi oleh satu tagar yang sama. Narasi dibangun, solidaritas dikonsolidasikan, dan tekanan terhadap penguasa mengkristal dalam bentuk tren digital. Tagar seperti #ReformasiDikorupsi, #TolakUUKesehatan, dan #17+8 menjadi simbol perlawanan yang powerful. Namun, siklus berita dan algoritma media sosial adalah hukum yang kejam. Sorotan pun bergeser, tagar itu memudar, dan yang tersisa adalah pertanyaan kritis: apa yang sebenarnya terjadi setelah sebuah gerakan mahasiswa tidak lagi viral?

Dalam perspektif Teori Mobilisasi Sumber Daya (Resource Mobilization Theory), fase pasca-viral adalah ujian sebenarnya. Teori ini menekankan bahwa kesuksesan sebuah gerakan sosial bergantung pada kemampuannya mengelola sumber daya seperti uang, tenaga, jaringan, dan keahlian. Ketika sebuah gerakan viral, sumber daya tersebut melimpah: relawan berbondong-bondong, donasi mengalir, dan dukungan luas mudah didapat. Namun, setelah sorotan redup, gerakan sering kali mengalami “kekeringan sumber daya”. Aktivis inti yang sebelumnya dimotivasi oleh energi massa bisa mengalami kelelahan (burnout), dan logistik untuk mempertahankan aksi berkelanjutan menjadi tantangan besar. Gerakan yang hanya mengandalkan momentum viral, tanpa membangun infrastruktur organisasi yang solid, akan kesulitan bertransisi dari “gerakan protes” menjadi “gerakan sosial” yang berkelanjutan.

Permasalahan lain muncul dari sisi pembingkaian (Framing Theory). Sebuah gerakan menjadi viral karena berhasil menciptakan “bingkai” narasi yang mudah dipahami dan emosional. Akan tetapi, bingkai yang disederhanakan untuk konsumsi media massa seringkali mengikis kompleksitas isu. Setelah tagar meredup, tantangannya adalah mempertahankan narasi yang mendalam dan koheren. Publik mungkin mengingat sebuah tagar, tetapi tidak lagi memahami akar permasalahan yang diperjuangkan. Di sinilah, menurut teori ini, gerakan perlu melakukan “permainan bingkai” (frame alignment) yang lebih rumit mentransformasi kemarahan viral menjadi pemahaman struktural yang mendalam, yang dapat dikomunikasikan melalui pendidikan kader, diskusi rutin, dan produksi konten yang bernas, meski tidak lagi trending.

Lebih jauh lagi, Teori Proses Politik (Political Process Theory) mengingatkan kita bahwa sebuah gerakan adalah proses dialektika dengan struktur kekuasaan. Elit politik seringkali memiliki strategi untuk menjinakkan gerakan yang viral. Mereka mungkin menggunakan taktik “penundaan administratif”, membentuk panitia khusus tanpa wewenang nyata, atau bahkan melakukan kooptasi melibatkan sedikit perwakilan mahasiswa dalam proses kebijakan untuk memberi ilusi partisipasi, sambil mengisolasi dan menetralisir tuntutan radikal gerakan. Jika gerakan tidak memiliki strategi jangka panjang dan kemampuan membaca peluang politik (political opportunity structure) di luar sorotan media, mereka bisa dengan mudah dilumpuhkan oleh mekanisme penundaan dan pelemahan dari kekuasaan.

Lantas, apakah ini berarti gerakan berbasis hashtag itu sia-sia? Sama sekali tidak. Fase viral adalah momen kesadaran kolektif (consciousness-raising) yang sangat efektif, sebuah konsep dalam Teori Gerakan Sosial Baru (New Social Movement Theory). Momen itu berhasil memobilisasi massa kritis dan memecah hegemoni wacana penguasa. Namun, tantangan sebenarnya terletak pada apa yang dilakukan setelahnya. Gerakan yang berkelanjutan adalah yang mampu bertransformasi. Mereka membangun infrastruktur gerakan yang tahan banting: lembaga studi yang menghasilkan data akurat, komunitas akar rumput yang konsisten mengadvokasi isu, dan aliansi strategis dengan elemen masyarakat sipil lain seperti serikat pekerja, LSM, dan pers.
Pada akhirnya, viralitas hanyalah sebuah pintu masuk. Kematangan sebuah gerakan mahasiswa justru diuji ketika tagar telah menghilang dari lini masa. Apakah mereka mampu mengkristalisasikan energi protes yang sporadis menjadi agenda perubahan yang sistematis? Kemampuan untuk melampaui euforia viral dan melakukan pekerjaan organik yang sunyi mengkader, membangun jaringan, dan merawat narasi inilah yang akan menentukan apakah sebuah gerakan hanya menjadi sekadar catatan kaki dalam sejarah, atau benar-benar menjadi kekuatan penentu arah perubahan bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *