Oleh : Bunga Annisa
Fenomena fujoshi dalam budaya populer Jepang, yang merujuk pada wanita heteroseksual yang menyukai cerita Boys Love atau yaoi khususnya cerita romantis dan erotis yang melibatkan sesama pria (homosexsual) yang telah mendapatkan popularitas signifikan di kalangan mahasiswi Indonesia. Awalnya dianggap sebagai hobi yang tidak berbahaya, kehadiran fujoshi mulai menimbulkan kekhawatiran terkait pengaruhnya terhadap persepsi dan aktivitas yang berkaitan dengan LGBT di kampus. Berbagai studi menunjukkan bahwa meskipun tidak semua fujoshi mendukung hubungan sesama jenis dalam kehidupan nyata, konsumsi berlebihan konten BL dapat mengaburkan batas antara fiksi dan kenyataan, sehingga berkontribusi pada normalisasi dan romantisasi hubungan homoseksual di kalangan mahasiswi. Selain itu, fenomena fujoshi berpotensi memperkuat stereotip dan objekifikasi pria homoseksual. Dalam banyak karya BL, karakter pria sering digambarkan dengan ciri-ciri feminin atau androgini, dan hubungan mereka diromantisasi sebagai sesuatu yang estetis dan menyenangkan bagi wanita untuk dinikmati.
Akibat lain yang perlu dipertimbangkan adalah semakin meningkatnya penerimaan konten dewasa dan eksplisit di kalangan mahasiswi. Sebagian besar konten BL menampilkan adegan seksual eksplisit, dan akses ke materi semacam itu semakin mudah melalui platform digital seperti Telegram, Twitter, atau aplikasi membaca seperti webtoon. Tanpa pemahaman yang tepat tentang pendidikan seks yang sehat, mahasiswi mungkin rentan terpapar konten yang dapat menimbulkan kesalahpahaman mengenai seksualitas dan persetujuan. Situasi ini berisiko memengaruhi perilaku seksual mereka dalam hubungan heteroseksual maupun homoseksual. Keberadaan fujoshi juga dapat menyebabkan polarisasi di kalangan mahasiswi. Di satu sisi, ada kelompok mahasiswi yang menikmati konten BL semata-mata untuk hiburan. Di sisi lain, ada yang percaya bahwa minat ini dapat mengganggu pemahaman mereka tentang sifat hubungan manusia dan nilai-nilai moral. Di kampus-kampus yang masih kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama dan norma sosial yang konservatif, fenomena ini dapat memicu ketegangan antara kelompok mahasiswi, terutama jika ada upaya untuk memasukkan cerita BL ke dalam diskusi publik atau kegiatan kampus. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa fujoshi telah memberikan kontribusi yang tidak langsung dalam meningkatkan visibilitas isu LGBT di lingkungan kampus. Dengan berfungsi sebagai “pintu masuk” yang lebih mudah diterima karena bersifat hiburan mereka berperan dalam menormalkan diskusi mengenai hubungan sesama jenis di antara mahasiswi. Bahkan, beberapa kampus mulai menyadari potensi ini dengan mengintegrasikan pembahasan tentang representasi media dan seksualitas dalam kegiatan akademis, seperti dalam mata kuliah studi budaya atau studi gender.
Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial berperan besar dalam penyebaran budaya fujoshi. Melalui penggunaan akun anonim, komunitas penggemar, dan platform berbagi konten, mahasiswi dapat secara terbuka mengekspresikan antusiasme mereka terhadap BL tanpa takut dihakimi. Namun, kebebasan ini juga dapat memicu kecenderungan untuk menganggap nilai-nilai yang ditampilkan dalam konten BL sebagai hal yang normal dan dapat diterima tanpa pertanyaan. Fenomena ini dapat mempercepat perubahan sikap dan penerimaan terhadap perilaku homoseksual, bahkan di kalangan individu yang sebelumnya menentangnya. Banyak penelitian, termasuk yang dilakukan oleh Tsabitah & Edy (2024), menunjukkan bahwa beberapa fujoshi menghadapi konflik internal antara ketertarikan mereka terhadap konten BL dan keyakinan agama atau norma sosial yang mengutuk homoseksualitas. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak dari mereka mulai menerima perspektif yang lebih toleran atau bahkan mendukung terhadap hubungan sesama jenis.
Transformasi nilai-nilai ini, jika terjadi secara luas, berpotensi mengubah lingkungan sosial di kampus, mempengaruhi kebijakan, dinamika organisasi mahasiswi, dan interaksi sehari-hari.
Namun demikian, tidak semua fujoshi mendukung hak LGBT, dan tidak semua konten BL memiliki pengaruh negatif. Beberapa mahasiswi hanya menganggapnya sebagai hiburan dari kebosanan atau sebagai bentuk ekspresi artistik. Namun, ketika konten semacam itu dikonsumsi secara berlebihan dan tanpa sudut pandang kritis, dampaknya terhadap sikap dan perilaku masyarakat menjadi sulit dihindari. Oleh karena itu, tanggapan yang terukur dari kampus sangat penting dalam menangani masalah ini. Ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pendidikan tentang literasi media, sensitivitas gender, dan pendidikan seks yang komprehensif. Di sisi lain, mahasiswi juga perlu didorong untuk mengembangkan perspektif kritis terhadap konten yang mereka konsumsi sehari-hari.


