Opini

Danantara: Cahaya di Tengah Gelapnya Prahara Sritex

24
×

Danantara: Cahaya di Tengah Gelapnya Prahara Sritex

Sebarkan artikel ini

Oleh: Revdi Iwan Syahputra

Sumbar,relasipublik – Di tengah badai yang menghantam industri tekstil nasional, satu nama kini menjadi titik harapan: Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Lembaga yang dipimpin oleh Tritunggal profesional—Rosan Roeslani, Dony Oskaria, dan Pandu Patria Sjahrir—ini digadang-gadang mampu menemukan jalan keluar bagi PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), raksasa tekstil yang kini berada di jurang kehancuran. Dari berbagai literatur dan diskusi dengan beberapa ekonom, saya mencoba menyederhanakan tulisan ini, seraya ditemani secangkir kopi.

Dari Kejayaan Menuju Keterpurukan

Sejak berdiri pada tahun 1966, Sritex menjadi simbol kejayaan industri tekstil nasional. Dari pabriknya di Sukoharjo, Jawa Tengah, perusahaan ini menyuplai seragam militer ke lebih dari 30 negara, termasuk NATO, serta memproduksi pakaian untuk merek global seperti H&M. Namun, bayang-bayang utang yang membesar menjadi bom waktu yang akhirnya meledak.

Pada 21 Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan Sritex pailit. Dengan utang yang mencapai Rp 24,84 triliun, perusahaan ini tak lagi mampu bertahan di tengah penurunan permintaan global, hantaman pandemi, dan serbuan produk impor murah yang menghancurkan daya saing industri lokal.

Tsunami PHK dan Tutup Total

Tak ada yang lebih memilukan dari dampak yang dirasakan pekerja. Pada Rabu, 26 Februari 2025, sebanyak 10.665 karyawan Sritex Group menerima kabar pahit: PHK massal. Seiring dengan keputusan perusahaan untuk menutup operasional per 1 Maret 2025, harapan ribuan keluarga pun ikut meredup.

Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), gelombang PHK ini terjadi bertahap, Januari 2025: 1.065 karyawan PT Bitratex Semarang terkena PHK. Februari 2025: 9.604 karyawan dari berbagai anak usaha ikut terdampak. PT Sritex Sukoharjo: 8.504 orang. PT Primayuda Boyolali: 956 orang. PT Sinar Panja Jaya Semarang: 40 orang. PT Bitratex Semarang: 104 orang
“Jumlah total PHK 10.665 orang,” demikian laporan Kemnaker, dikutip pada Jumat, 28 Februari 2025 lalu.

Bagi mereka yang bertahun-tahun menggantungkan hidup pada Sritex, situasi ini adalah bencana ekonomi. Dengan serbuan tekstil impor dan lesunya pasar domestik, menemukan pekerjaan baru bukan perkara mudah.

Negara di Persimpangan Jalan

Runtuhnya Sritex bukan sekadar kisah tentang satu perusahaan. Ini adalah alarm bagi industri nasional, yang butuh perlindungan lebih serius dari pemerintah. Presiden Prabowo Subianto, yang mengusung visi ekonomi berdaulat dan kemandirian industri, dihadapkan pada dilema besar: membiarkan Sritex runtuh atau mencari solusi penyelamatan.

Kemungkinan beberapa skenario langkah yang bisa diambil pemerintah antara lain, Restrukturisasi Utang, yakni Memediasi negosiasi antara Sritex dan krediturnya agar ada solusi yang menguntungkan semua pihak.
Selain itu bisa juga Bailout Terarah, jika dianggap sebagai aset strategis, pemerintah bisa mempertimbangkan penyelamatan finansial dengan syarat-syarat tertentu.
Untuk Pemerintah bisa juga melakukan Regulasi Perlindungan Industri Tekstil, yakni Kebijakan pembatasan impor dan insentif bagi industri dalam negeri bisa menjadi solusi jangka panjang.

Namun, keputusan ini tak bisa berdiri sendiri. Dibutuhkan tangan-tangan profesional dengan pemahaman mendalam tentang investasi, manajemen krisis, dan ekonomi industri. Di sinilah BPI Danantara menjadi kunci.

Danantara: Harapan Terakhir Sritex?

Sebagai lembaga yang bertugas menyehatkan industri strategis, BPI Danantara memiliki sumber daya dan kepemimpinan yang mumpuni. Rosan Roeslani, Dony Oskaria, dan Pandu Patria Sjahrir adalah figur yang tak asing dalam dunia bisnis dan investasi. Dengan pengalaman mereka, peluang bagi Sritex untuk bangkit kembali masih terbuka.

Tiga langkah konkret yang bisa dilakukan BPI Danantara adalah:
1. Pendampingan Manajemen– Membantu Sritex menyusun strategi pemulihan berbasis data dan efisiensi.
2. Mencari Investor Baru – Menghubungkan Sritex dengan mitra strategis yang bisa menyuntikkan modal tanpa membebani APBN.
3. Bekerja Sama dengan Pemerintah – Menjembatani kepentingan negara, dunia usaha, dan tenaga kerja dalam satu kesepakatan yang adil.

Jika dikelola dengan cermat, skenario penyelamatan ini bisa menjadi model bagi industri lain yang mengalami nasib serupa. Lebih dari sekadar menyelamatkan satu perusahaan, ini adalah ujian bagi kebijakan industri nasional: apakah negara siap melindungi sektor strategisnya atau justru membiarkan mereka tenggelam?

Sejarah akan mencatat, apakah Danantara akan menjadi pahlawan di tengah badai atau sekadar saksi bisu dari runtuhnya salah satu raksasa tekstil Indonesia.(*)

Penulis adalah Jurnalis Pemegang Kompetensi Wartawan Utama, pernah sebagai Pemimpin Redaksi beberapa Media Cetak dan Online.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Opini

Relasipublik – Pilihan Sport Bra Terbaik untuk Mendukung…