Opini

Dari Aksi Lapangan ke Klik Digital: Kerelawanan Menjadi Gaya Hidup Baru Anak Muda

20
×

Dari Aksi Lapangan ke Klik Digital: Kerelawanan Menjadi Gaya Hidup Baru Anak Muda

Sebarkan artikel ini

Oleh : Difa Novia Wahyuni

Perubahan cara anak muda berpartisipasi dalam kegiatan sosial semakin terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Kalau dulu aksi sosial identik dengan turun langsung ke lapangan, kerja bakti, atau aksi massa, sekarang banyak gerakan justru berkembang lewat layar ponsel. Pergeseran ini bukan hanya karena teknologi semakin maju, tetapi juga karena cara anak muda melihat makna “berbuat baik” juga berubah. Mereka ingin terlibat, tetapi dengan cara yang sesuai dengan ritme hidup mereka yang serba cepat dan serba digital.

Indorelawan adalah salah satu contoh paling jelas dari perubahan ini. Platform ini memberi ruang bagi siapa pun untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Melalui situs resminya, [www.indorelawan.org](http://www.indorelawan.org), pengguna bisa menemukan berbagai kegiatan sosial yang sesuai minat dan waktu mereka. Data terbaru menunjukkan lebih dari 300 ribu relawan sudah bergabung dan ribuan kegiatan telah berlangsung. Angka ini bukan hanya menunjukkan banyaknya orang yang ingin membantu, tetapi juga menunjukkan bahwa *ruang digital sudah menjadi bagian penting dari praktik gotong royong masa kini.
Fenomena ini bisa dijelaskan menggunakan beberapa teori gerakan sosial. Misalnya, teori New Social Movement menyebutkan bahwa gerakan sosial modern tidak hanya berfokus pada tuntutan politik, tapi juga pada isu-isu identitas, nilai, dan ekspresi diri. Itu terlihat jelas pada relawan muda yang tidak hanya ingin membantu, tetapi juga ingin menunjukkan siapa mereka: generasi yang peduli, sadar sosial, dan ingin memberi dampak. Dengan mengikuti kegiatan sosial lewat platform digital, mereka merasa terhubung dengan nilai yang mereka percayai. Kegiatan sosial menjadi bagian dari gaya hidup, bukan sekadar kegiatan insidental.

Jika melihat dari teori mobilisasi sumber daya, kehadiran teknologi memang membuat gerakan sosial jauh lebih mudah dijalankan. Dulu, mengumpulkan relawan harus lewat pertemuan langsung atau jaringan komunitas yang terbatas. Sekarang, cukup lewat satu situs seperti [www.indorelawan.org](http://www.indorelawan.org), ribuan orang bisa langsung terhubung ke berbagai kegiatan sosial. Cara ini membuat proses pengumpulan relawan lebih cepat, lebih murah, dan tidak terikat jarak. Bahkan orang yang tinggal di daerah pun tetap bisa ikut terlibat secara daring. Jadi, teknologi benar-benar menjadi “sumber daya” baru yang memperluas jangkauan aksi sosial yang sebelumnya hanya bisa dilakukan di wilayah tertentu.

Kehadiran Indorelawan juga terlihat jelas dari bagaimana pemerintah memberi ruang bagi gerakan sosial digital untuk berkembang. Kalau mengacu pada teori Political Opportunity Structure, gerakan sosial biasanya tumbuh ketika ada dukungan dari lembaga formal. Dalam konteks ini, dukungan Kementerian Pemuda dan Olahraga menjadi contoh yang cukup kuat. Pada tahun 2023, Indorelawan diundang langsung untuk berdiskusi, dan saat itu Menpora menekankan bahwa gotong royong perlu menjadi gaya hidup anak muda Indonesia. Sikap seperti ini membuat anak muda merasa bahwa kegiatan relawan bukan hal “pinggiran”, tetapi sesuatu yang penting dan diakui negara. Ruang politik yang terbuka inilah yang membuat gerakan sosial digital semakin mudah diterima masyarakat.

Cara Indorelawan menyampaikan pesan juga punya peran besar dalam menarik perhatian anak muda. Dalam teori Framing, sebuah gerakan bisa berkembang kalau isu yang dibawanya dikemas dengan cara yang relevan dan masuk akal bagi targetnya. Indorelawan berhasil melakukan itu. Lewat media sosial, mereka menampilkan kegiatan sosial sebagai sesuatu yang seru, ringan, dan cocok dengan gaya hidup anak muda. Foto-foto kegiatan, pengalaman relawan, dan cerita positif membuat orang merasa bahwa menjadi relawan itu bukan sesuatu yang rumit atau membosankan. Dengan framing seperti ini, anak muda jadi lebih percaya diri bahwa mereka juga bisa ikut ambil bagian, bahkan kalau hanya punya waktu sedikit.

Dari pendekatan struktural, Indorelawan membangun jaringan baru yang mempertemukan banyak aktor sosial. Platform ini menjadi ruang interaksi yang memperkuat kerja sama antara relawan, komunitas, dan organisasi sosial. Struktur digital seperti ini membantu gerakan sosial bertahan lebih lama karena tidak bergantung pada pertemuan fisik. Di dunia digital, jaringan tetap hidup meskipun anggotanya tidak bertemu secara langsung. Inilah yang membuat gerakan sosial digital lebih fleksibel dan mudah beradaptasi.


Walaupun begitu, gerakan sosial digital tidak lepas dari tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah slacktivism ketika seseorang merasa cukup berpartisipasi hanya dengan menyebarkan konten atau memberi like. Ini menjadi tantangan serius karena bisa menurunkan kualitas partisipasi sosial. Namun, Indorelawan mencoba mengatasi hal ini dengan memberikan laporan kegiatan secara transparan, menampilkan dampak nyata, dan membuka ruang bagi relawan untuk terlibat dalam aksi langsung, tidak hanya secara simbolik. Langkah ini penting agar partisipasi digital tetap menghasilkan perubahan nyata di lapangan.

Melihat semua aspek tersebut, kerelawanan digital bukan hanya perubahan cara beraksi, tapi juga perubahan cara berpikir generasi muda tentang kepedulian sosial. Gotong royong tidak hilang; ia hanya berubah bentuk. Dari aksi lapangan ke klik digital, dari kegiatan insidental ke gaya hidup sehari-hari, kerelawanan kini menjadi bagian dari identitas sosial generasi muda Indonesia. Mereka bergerak bukan karena kewajiban, tetapi karena kesadaran dan pilihan pribadi. Dan selama nilai itu terus hidup, gerakan sosial akan terus berkembang sejalan dengan perubahan zaman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *