PADANG,RELASIPUBLIK — Perkembangan kehidupan digital makin menggurita, menguasai semua sektor kehidupan. Tidak terkecuali di dalam politik dan pemerintahan. Politik dan pemerintahan berbasis data ini kemudian dikenal dengan istilah datakrasi.
Bicara tentang datakrasi maka akan berbicara tentang bigdata, algoritma, teknologi digital, dan analisis data dalam bentuk artificial intelligence. Semua itu kemudian dimanfaatkan oleh negara untuk mengatur masyarakat.
“Di Indonesia kita belum akrab dengan sistim ini, tapi di banyak negara seperti Cina, Singapura, Korea Selatan, dan sejumlah negara lainnya, sudah memanfaatkan datakrasi ini dalam proses pengambilan kebijakan dan dalam mengatur kehidupan masyarakat,” jelas Prof. Nusyirwan Efendi dalam kuliah umum yang digelar oleh Magister Ilmu Politik FISIP Unand, (15/9).
Nusyirwan juga melihat bahwa datakrasi ini belum bisa menggantikan rezim, namun hanya sebatas sebagai alat dalam pemerintahan.
“Saya belum melihat arah bahwa datakrasi ini akan mampu menggantikan sistim pemerintahan, apalagi menggantikan parlemen, partai politik dan lain lain. Namun datakrasi ini efektif digunakan dalam birokrasi, sebagai alat untuk melayani masyarakat,” lanjut Direktur Pasca Sarjana Unand ini.
Kegiatan kuliah umum ini membahas tentang “Demokrasi di Era Digital : Dari Demokrasi ke Datakrasi” dan dimoderatori oleh Nofal Wiska. Kegiatan ini diikuti oleh mahasiswa Doktoral Kebijakan Publik, Magister Ilmu Politik, dan praktisi serta akademisi dan dibuka oleh Dekan FISIP Unand Dr Azwar.
Dalam kuliah umum tersebut, Dosen Universitas Lampung Dr Roby Cahyadi Kurniawan, menilik dari sisi bagaimana media sosial mengambil data keseharian penggunanya.
“Harus hati hati mengupload sesuatu di media sosial, karena setiap apapun aktivitas kita di media sosial akan masuk ke big data yang bisa digunakan untuk berbagai hal, bahkan saat ini media sosial lebih tahu dari diri kita tentang apa yang kita butuhkan,” jelas Roby.
Dari perspektif politik elektoral, Roby Cahyadi menilai praktik memanfaatkan big data ini sudah mulai dilakukan dalam beberapa pemilihan, seperti di AS, Kenya, India dan termasuk Indonesia.
“Dalam proses pemilihan analis data memanfaatkan data data media sosial untuk mencari tahu preferensi politik, kebutuhan dan sebagainya, yang dimanfaatkan bagi para calon untuk mengetahui masyarakat, sehingga lebih mudah untuk membuat konten isu dalam berkampanye,” jelas Wakil Dekan III Fisip Universitas Lampung ini.
Sementara itu Dr Aidinil Zetra mengemukakan pandangannya terkait masa depan demokrasi akan ditentukan oleh datakrasi ini. Banyak contoh negara yang sudah mencapai governance 4.0 dengan memanfaatkan big data dan kecerdasan buatan.
“Datakrasi menjungkirbalikkan hakikat demokrasi, jika demokrasi bicara tentang hak, maka datakrasi akan bicara tentang kebenaran, karena basisnya adalah data data yang dihimpun dari banyak orang. Bahkan demokrasi perwakilan dengan menjaring aspirasi ke lapangan yang dilakukan politisi, akan tidak berguna jika muncul datakrasi ini,” papar dosen Ilmu Politik Unand ini.
Dia memprediksi datakrasi ini akan semakin menguat, dengan terus berkembangnya teknologi analisa data.
“Jika datakrasi berjalan, maka alat demokrasi akan hilang, harus ada internet gratis dan gawai gratis bagi warga, warga harus aktif melakukan aktivitas di media sosial sehingga bisa dicrawling oleh IA. Prasyarat ini tentu berat bagi Indonesia, tapi bagi negara lain bisa saja ini dilakukan, sehingga pemerintahan akan tergantikan dengan datakrasi ini,” ungkap Aidinil.
Kegiatan diskusi ini merupakan kegiatan rutin dari Magister Ilmu Politik Unand setiap bulannya. “Kuliah umum ini semoga bisa membuka cakrawala berpikir bagi mahasiswa dan masyarakat,” ungkap Ketua Program MIP Dr Tengku Rika Valentina.
“Saat ini siapa yang menguasai data dan program analisis data maka dia yang akan menguasai dunia,” pungkas Nofal Wiska menutup sesi kuliah umum ini.(***)