Oleh : Muhammad Farouq Alhadi (Mahasiswa Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Imam Bonjol Padang)
PT Wijaya Karya Bangunan Gedung Tbk (WEGE), salah satu anak perusahaan BUMN karya PT WIKA (Persero), kembali menarik perhatian masyarakat setelah mengalami beberapa gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari krediturnya di awal tahun 2025. Berdasarkan laporan CNBC Indonesia pada Januari 2025, perkara ini berasal dari tagihan untuk pekerjaan konstruksi yang sudah jatuh tempo tetapi belum dilunasi. Keadaan ini tidak terjadi secara mendadak; sejak tahun 2023 hingga 2024, perusahaan-perusahaan BUMN karya telah menghadapi masalah arus kas karena kombinasi keterlambatan pembayaran proyek dan beban utang jangka pendek.
Gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap WEGE telah diajukan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat oleh dua perusahaan kontraktor. Mereka menyatakan bahwa proyek konstruksi yang merupakan tanggung jawab kontrak sudah selesai, tetapi pembayaran dari WEGE mengalami keterlambatan yang cukup lama. Klaim tersebut didukung oleh dokumen kontrak, tambahan pekerjaan, serta laporan kemajuan yang juga dilampirkan dalam permohonan PKPU, seperti yang dilaporkan oleh Bisnis. com pada 16 Januari 2025. WEGE tidak sepenuhnya menyangkal keterlambatan itu, tetapi menjelaskan bahwa perusahaan sedang memperbaiki arus kas, termasuk penyesuaian waktu pembayaran di dalam perusahaan.
Di ruang sidang, majelis hakim melakukan pengecekan tentang legal standing kreditur, menilai apakah kreditur benar-benar memiliki utang yang telah jatuh tempo, serta memeriksa kesesuaian dokumen pekerjaan yang ada. Dalam tanggapannya, mengacu pada berita dari Kontan. co. id pada tanggal 18 Januari 2025, WEGE menjelaskan bahwa keterlambatan dalam pembayaran disebabkan oleh lambatnya proses pencairan dana proyek yang bersumber dari kementerian dan pemerintah daerah. Fenomena keterlambatan berantai seperti ini menjadi masalah klasik dalam industri konstruksi di Indonesia: saat pembayaran dari satu pihak terhambat, kewajiban pembayaran kepada pihak lain juga terganggu, yang menyebabkan terjadinya kemacetan keuangan yang sulit diatasi.
Menarik untuk dicatat bahwa perkembangan gugatan PKPU terhadap WEGE tidak berakhir dalam satu pola yang seragam. Beberapa kreditor malah menarik kembali gugatannya setelah dilakukan negosiasi dan pembayaran awal. IDNFinancials pada bulan Februari 2025 melaporkan bahwa beberapa kreditur memilih untuk menyelesaikan dengan cara damai setelah WEGE menunjukkan niat baik dan mengusulkan rencana pembayaran secara bertahap. Di sisi lainnya, terdapat pengajuan PKPU yang akhirnya ditolak oleh pengadilan karena tidak memenuhi syarat formal PKPU, terutama ketentuan mengenai adanya lebih dari satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, sesuai dengan yang diatur dalam UU No. Ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengenai Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Situasi ini memperlihatkan bahwa pengadilan tidak serta-merta mengabulkan semua permohonan PKPU. Majelis hakim tetap menilai secara objektif kelengkapan bukti, kemampuan pembayaran perusahaan, serta itikad baik debitur. Dalam beberapa putusan PKPU sebelumnya yang dimuat di Direktori Putusan Mahkamah Agung, majelis sering menolak permohonan PKPU yang dianggap dipakai sebagai tekanan negosiasi semata, bukan karena debitur benar-benar tidak mampu membayar. Pola ini juga terlihat dalam kasus WEGE.
Krisis Industri Konstruksi dan Beban BUMN Karya
Agar dapat memahami akar masalah, kita harus memeriksa keadaan industri konstruksi di dalam negeri. Sejak terjadinya pandemi, banyak proyek yang dikelola oleh pemerintah mengalami penyesuaian anggaran serta pengaturan ulang jadwal pembayaran. Laporan keuangan WIKA Grup yang dibahas Kementerian BUMN pada akhir tahun 2024 menunjukkan adanya tekanan yang cukup besar pada arus kas akibat penundaan pembayaran proyek serta tingginya beban utang jangka pendek. Dampaknya kemudian merembet ke anak perusahaan, termasuk WEGE.
Sebagai perusahaan yang bergantung pada pembayaran termin (progress payment), WEGE sebenarnya berada dalam posisi yang sangat rentan. Apabila terdapat satu atau dua proyek besar yang terlambat dalam pembayaran, maka seluruh sistem pembayaran kepada subkontraktor akan terhambat. Di titik inilah PKPU sering digunakan sebagai instrumen hukum untuk mendorong perusahaan dalam memberikan jaminan pelunasan.
Kondisi WEGE menunjukkan masalah yang tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga struktural: tingginya ketergantungan pada proyek pemerintah, manajemen arus kas yang kurang adaptif, serta kurangnya cadangan keuangan untuk mengatasi keterlambatan pembayaran.
Analisis Hukum: PKPU sebagai Instrumen Negosiasi, Bukan Eksekusi
Dari sudut pandang hukum bisnis, kasus WEGE menegaskan kembali fungsi utama PKPU. Banyak ahli hukum yang dikutip Hukumonline. com pada tahun 2025 menyatakan bahwa PKPU merupakan suatu mekanisme “rem darurat” bagi para kreditur: sebuah alat yang memaksa debitur untuk duduk dan melakukan negosiasi saat komunikasi telah terhenti.
Kasus WEGE secara nyata memperlihatkan hal tersebut. Kreditur mengajukan PKPU bukan dengan tujuan untuk mempailitkan perusahaan, melainkan untuk memastikan pembayaran yang jelas. Saat WEGE memulai proses negosiasi dan menunjukkan bukti keseriusan dalam pembayaran, beberapa kreditur membatalkan gugatannya.
Dari sudut pandang hukum, terdapat tiga hal utama yang dapat diambil dari kasus ini:
- PKPU bukan senjata pemusnah korporasi, tetapi mekanisme penyeimbang hubungan kreditur-debitur.
- Pengadilan tetap bersikap objektif bahwa status BUMN tidak menjadi alasan untuk diberikan perlakuan khusus secara otomatis.
- Niat baik debitur merupakan elemen penting yang diperhatikan oleh hakim dalam keputusan PKPU.
Catatan Penutup
Kasus PKPU yang melibatkan WEGE mencerminkan bagaimana hukum bisnis berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara berbagai kepentingan ekonomi. Tuntutan ini sebenarnya timbul dari masalah finansial, namun solusinya sangat tergantung pada kombinasi itikad baik, transparansi, dan kesediaan perusahaan untuk meningkatkan pengelolaan.
Bagi perusahaan konstruksi di dalam negeri, situasi ini sepatutnya menjadi pengingat yang tegas bahwa manajemen risiko arus kas dan diversifikasi proyek tidak dapat ditunda lagi. Sebesar apapun nama perusahaan tersebut, termasuk Badan Usaha Milik Negara, utang yang telah jatuh tempo tetap harus dilunasi. Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, hukum hadir untuk menawarkan kesempatan berdialog, memberikan tekanan, serta menyediakan perlindungan.
Pada akhirnya, kasus WEGE tidak hanya merupakan kisah mengenai tuntutan PKPU, tetapi juga mencerminkan dinamika industri konstruksi di Indonesia yang berupaya untuk bangkit di tengah tantangan ekonomi. Dan sebagaimana yang dibuktikan dalam kasus ini, hukum tetap menjadi landasan kepastian di saat dunia usaha mengalami ketidakstabilan.












