Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Berita UtamaOpiniTERBARU

Harmoni dalam Keberagaman: Islam yang Akomodatif dan Inklusi

93
×

Harmoni dalam Keberagaman: Islam yang Akomodatif dan Inklusi

Sebarkan artikel ini
Pijar Qolbun Sallim (Dok PQS)

Islam akan selalu menjadi warna penting dalam pemikiran dan perkembangan peradaban dunia, termasuk sejarah Indonesia. Dinamika pemikiran dan polarisasi yang terjadi selama proses pendewasaan negeri ini, mulai dari perdebatan intelektual antar founding fathers sebelum hingga setelah kemerdekaan, dapat kita pelajari dari berbagai catatan dan literatur.

Saat ini, dinamika perpolitikan dunia juga turut melibatkan para intelektual muslim, misalnya dalam konflik internasional antara Israel dan Palestina yang memuncak belakangan ini. Para pemikir Islam harus turut serta meluruskan, mencerahkan, dan menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi secara terang.

Islam akan terus menjadi bagian yang penting dalam mewarnai dan memberikan kontribusi pada kanvas sejarah dan peradaban dunia. Keterlibatan kaum muslim dalam eskalasi global maupun lokal selalu menyedot perhatian.

Banyak intelektual muslim memiliki pandangan berbeda mengenai gagasan dan ide, terutama mengenai hubungan antara Islam, politik, dan negara. Perdebatan intelektual dalam menyampaikan keyakinan dan corak pemikirannya selalu menjadi diskursus yang menarik untuk diikuti.

Pemikiran Islam dalam konteks pentas politik dan bernegara terus menjadi kajian akademik kontemporer yang relevan. Tiga aliran pemikiran populer—Islam konservatif atau klasik, Islam moderat atau substantif, dan Islam sekuler—menjadi episentrum diskursus intelektual hingga saat ini.

Dengan perkembangan era digitalisasi dan transformasi teknologi yang semakin dinamis, menganalisis ketiga aliran pemikiran ini—Islam integral atau konservatif klasik, Islam moderat, dan sekularisme—menjadi sangat menarik.

Setiap aliran pemikiran tersebut memiliki nilai dan landasan sosio-historisnya masing-masing, yang semuanya bermuara pada Al-Qur’an dan Hadist. Namun, perbedaan interpretasi dan pemaknaan Al-Qur’an dan Hadist menjadi faktor kunci munculnya berbagai kelompok dan aliran pemikiran tertentu.

Meskipun umat Islam di seluruh dunia mengakui syahadat, mempercayai Nabi Muhammad Saw. sebagai Nabi terakhir, serta berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, interpretasi dan artikulasi Islam terletak pada akal dan hati setiap individu.

Ketiga aliran pemikiran ini tentu memiliki implementasi dan praktik yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari. Pikiran memengaruhi tindakan, tindakan memengaruhi kebiasaan, dan kebiasaan membentuk karakter.

Oleh karena itu, dogma dan prinsip yang dijadikan falsafah atau ideologi hidup seseorang akan sangat berpengaruh terhadap realitas sehari-hari. Masalah muncul ketika sekelompok orang menganggap bahwa hanya paradigmanya yang paling benar dan harus diikuti oleh semua orang.

Indonesia adalah negara yang sangat plural dan majemuk, dengan 1.340 suku, 2.161 komunitas adat, 718 bahasa, dan 17.504 pulau. Dengan hadirnya Islam sebagai agama yang adaptif dan akomodatif, kiranya selalu relevan dengan perkembangan zaman.

Sementara itu, negara memegang peran sentral dalam aktualisasi berbagai paradigma yang ada. Negara terdiri dari individu yang terhimpun dalam forum formal yang dilegitimasi oleh masyarakat sebagai hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Para individu ini membawa nilai-nilai dan dogma pribadi yang dianut sejak lahir. Diskusi mengenai bentuk negara Indonesia, apakah Islam, Nasionalis, atau Sosialis, telah menjadi diskursus kebangsaan sejak pra hingga pasca kemerdekaan.

Kaum intelektual Indonesia mencapai konsensus untuk mendirikan negara Nasionalis yang mengakomodasi Islam dan Sosial dalam satu wadah. Namun, sense of justice dalam konsensus ini menyiratkan bahwa setiap kelompok harus terlibat dalam dinamika nasional untuk menunjukkan eksistensi dan hegemoninya, serta menjawab persoalan-persoalan lokal maupun global.

Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah negara Islam maupun sekuler, melainkan negara dengan falsafah luhur yang berakar pada nilai-nilai budi pekerti dan kearifan lokal masyarakatnya yang tertuang dalam bingkai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Hal ini memengaruhi perilaku dan karakter masyarakat Indonesia. Islam, sebagai landasan mayoritas masyarakat Indonesia, kaya akan nilai-nilai kemanusiaan, keharmonisan, dan tauhid yang kuat. Islam yang akomodatif dan inklusif dapat menghidupkan kembali nilai-nilai Islam dalam diri setiap individu, terutama generasi Z.

Pendekatan ini mengedepankan keterbukaan, moderasi, dan reinterpretasi ayat-ayat Al-Quran yang mempertimbangkan konteks zaman.
Penerapan musyawarah dan penegakan keadilan merupakan esensi dari nilai-nilai Islam yang menonjol dalam kehidupan politik dan bernegara.

Pengutamaan moral, akhlak mulia, dan toleransi adalah pilar yang menegakkan panji-panji Islam. Islam tidak anti terhadap modernisasi karena modernisasi adalah rasionalisasi, bukan westernisasi. Keterbukaan dan inklusifitas adalah nilai-nilai yang perlu disegarkan kembali dalam sanubari dan paradigma umat Islam saat ini.

Islam adalah agama peradaban dan kemanusiaan yang plural, sebagaimana terbukti ketika Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah. Sesampainya di sana, Nabi melakukan penyesuaian-penyesuaian dan perubahan dalam cara dakwah sesuai dengan tempat dan situasi yang berbeda. Adaptabilitas dan kecermatan Nabi dalam membangun ukhuwah sangat menonjol.

Beliau membuat Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) yang menyatukan dan mengharmoniskan hubungan kemanusiaan, menjadikannya tinggi dan mulia dalam penetrasi dakwah saat itu. Keterbukaan adalah tiang utama pemikiran politik Islam.

Melalui keterbukaan, umat Islam tidak hanya didorong untuk mengoreksi kekurangan diri sendiri tetapi juga diberi kesempatan untuk belajar dari pihak manapun guna memperbaiki diri. Ini mencerminkan Islam sebagai agama yang dinamis dan adaptif, relevan dengan perkembangan zaman dan situasi.

Prinsip kebebasan beragama adalah kehormatan bagi manusia dan Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih jalan hidupnya. Gus Dur pernah mengatakan, “Manusia itu lebih penting daripada agama; jika engkau berbuat baik, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu.”

Dalam konteks bernegara dan berpolitik, penting untuk melihat dinamika dan persoalan antar manusia melalui perspektif yang4 lebih luas dan inklusif. Mempersempit pandangan terhadap Islam hanya akan mengaburkan keindahan dan harmonisasi nilai-nilai mulia yang dimilikinya.

Islam adalah agama yang plural dan universal, diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia, bukan untuk kelompok atau golongan tertentu. Dengan memandang Islam melalui lensa inklusif dan gotong-royong yang dibalut dengan keberagaman,

Indonesia seharusnya mampu melompat lebih tinggi dibanding negara-negara lain. Hal ini dapat dicapai melalui penggabungan nilai-nilai luhur dengan kekuatan akidah Islam yang dipegang mayoritas masyarakatnya.

Pada dasarnya, Islam yang inklusif memiliki filosofi yang mendalam dan menyentuh, pada masyarakat inklusif, setiap individu dihargai bukan karena keseragaman, tetapi karena keunikan mereka.

Kolaborasi dan toleransi menjadi dasar dari setiap interaksi, menciptakan harmoni dalam keberagaman. Ketika nilai-nilai inklusi dan toleransi menjadi prinsip yang dijunjung tinggi, kita akan menciptakan lingkungan yang memahami bahwa perbedaan bukanlah sumber konflik, melainkan kekuatan yang menyatukan.

Inklusi membuka jalan bagi kita untuk hidup berdampingan dalam damai, seperti lukisan yang belum selesai, kita hanya akan mampu mencapai keindahan dan harmonisasi yang sejati ketika setiap warna, setiap goresan yang unik, hadir dan saling melengkapi.

Pada hakikatnya, Islam yang Inklusif mengajak kita untuk memanusiakan manusia dan memuliakan nilai serta martabat setiap individu, sebagaimana yang telah Tuhan ciptakan dengan sempurna.

Namun, jika paradigma dan dogma dalam pemikiran masyarakat Islam Indonesia tidak dibentuk dengan benar, kesesatan dalam penafsiran dan aksi-aksi propaganda yang radikal dapat mengakibatkan efek domino yang merugikan kesatuan umat Islam di tingkat nasional.

Prinsip kesatuan, baik dari perspektif nasionalisme maupun Islamisme, menekankan adanya koneksi di antara satu elemen dengan yang lain; ketika satu elemen mengalami masalah, yang lain akan ikut merasakan dan terpengaruh.

Oleh karena itu, pemikiran Islam yang adaptif, akomodatif, dan inklusif menjadi solusi untuk persoalan dewasa ini. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara besar yang menjadi pusat peradaban dunia. Hal ini dapat terwujud jika Islam dijadikan aspek fundamental yang membidani dan memotori setiap langkah dan keputusan pemimpinnya, yang akan memengaruhi umat dan masyarakat secara keseluruhan.

Di dunia yang semakin memperlihatkan persaingan yang kian sukar, banyak orang cenderung melihat sesama manusia sebagai rival dan kompetitor. Ketika kita melihat hidup sebagai kompetisi, kita menciptakan zona vertikal antar individu yang menyebabkan perasaan menang dan kalah.

Ini membuat kita cenderung merasa jauh dari ketenangan dan kedamaian jiwa sebab kita merasa kalah ketika melihat orang lain berhasil. Akan tetapi, jika kita mampu sedikit saja menggeser sudut pandang kita, melihat manusia sebagai kawan seperjuangan dan bukan sebagai saingan, kita akan lebih mudah memberi pujian dan pertolongan yang tulus terhadap pencapaian dan prestasi orang lain.

Pada hakikatnya, setiap manusia dilahirkan dengan kelebihan dan potensi masing-masing, artinya Tuhan mengaruniakan kesempatan yang sama bagi setiap individu secara horizontal untuk menjalani peran dan kehidupannya di dunia. Menghapus perspektif bahwa manusia adalah rival dan kompetitor akan membawa kedamaian dan ketentraman dalam diri kita. Termasuk dalam aktivitas politik dan bernegara di Indonesia yang penuh corak pemikiran yang beragam. Oleh sebab itu, Islam harus meresap dan menyatu dalam sukma dan sanubari setiap insan muslim dalam kehidupan sehari-hari sebagai pengikat ukhuwah yang kuat dan kokoh. Islam harus menjadi instrumen untuk saling menjaga, merangkul, mendamaikan, dan menyejukkan sesama.

Pada akhirnya, Islam adalah episentrum kedamaian dan keharmonisan. Islam menempatkan nilai-nilai dan kesadaran dalam bingkai kemanusiaan pada posisi yang sangat tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh Gus Dur, “Islam bukanlah agama yang anti kebebasan, tetapi agama yang membebaskan.” Oleh karena itu, kesetaraan dan keterbukaan dalam bingkai keberagaman adalah tindakan yang harus diutamakan.

Bukankah perbedaan dan keberagaman adalah kehendak dan bentuk kebesaran Tuhan? Mengapa kita, sebagai makhluk dan hasil dari ciptaan-Nya, merasa lebih pantas dan mengetahui bahwa keyakinan kita untuk menyeragamkan ideologi adalah kebenaran? Apapun bentuk pemerintahan dan negara yang didirikan, selama negara tersebut menjalankan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan harmoni keselarasan yang menyejukkan dan mendamaikan, maka itulah esensi dari Islam.

Penulis:
Pijar Qolbun Sallim, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *