Oleh: Gilang Gardhiolla Gusvero, Wartawan
Kita belajar, kita melihat, kita mendengar. Belakangan ini, tanah air sedang diguncang gelombang keresahan. Indonesia tercinta, bumi pertiwi, seakan berada dalam pusaran kecamuk yang tiada henti.
Akar masalahnya muncul dari keputusan kontroversial: kenaikan tunjangan anggota DPR. Kemudian, luka bangsa kian dalam saat Affan Kurniawan, seorang driver ojek online berusia 21 tahun, tewas tertabrak kendaraan taktis polisi saat aksi demonstrasi di Jakarta. Peristiwa itu menjadi simbol perlawanan, memicu duka, sekaligus amarah.
Benturan massa dengan aparat, korban berjatuhan, hingga pembakaran fasilitas umum di sejumlah daerah. Dalam lima hari, Indonesia seperti berdiri di ambang kegaduhan besar.
Namun di Sumatera Barat, duka itu menjelma menjadi panggilan moral. Mahasiswa, pengemudi ojol, hingga masyarakat umum berkumpul, menuntut pengusutan tuntas kematian Affan. Pada Jumat sore, 29 Agustus 2025, ribuan orang berorasi di depan Mapolda Sumbar. Malam itu, Kapolda Irjen Pol Gatot Tri Suryanta turun menemui massa, meminta maaf, dan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melaksanakan salat gaib bersama pada Sabtu, 30 Agustus dan Minggu 31 Agustus 2025 di Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, di Padang.
Melalui grup WhatsApp, kabar aksi damai meluas. Seruan itu menjalar cepat. Seruan Itu mengundang mahasiswa dan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi di Gedung DPRD Sumbar pada Senin, 1 September 2025. Antisipasi chaos membuat Pemko Padang mengambil kebijakan meliburkan sekolah pada 1 September. Suasana kota seakan menahan napas.
Hari itu tiba. Jalanan lengang, aparat siaga, dan seluruh mata tertuju ke Gedung DPRD Sumbar. Namun ketika massa mahasiswa dari berbagai kampus hadir, yang tampak bukan kericuhan, melainkan pemandangan yang menenteramkan. Barisan tertib, orasi terarah, dan wajah-wajah yang menyuarakan semangat perubahan tanpa amarah.
Inilah wajah Minangkabau: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Nilai luhur yang diwariskan para leluhur indak lekang dek paneh (tidak lekang oleh panas), indak lapuak dek hujan (tidak lapuk oleh hujan).
Pepatah ini menekankan keteguhan, keabadian, dan ketulusan dalam hubungan maupun nilai kehidupan, meskipun diterpa waktu maupun keadaan.
Ketua DPRD Sumbar Muhidi bersama wakilnya Nanda Satria, Evi Yandri, Iqra Chissa, dan anggota lainnya menerima aspirasi mahasiswa dengan tangan terbuka. Dialog hangat menggantikan ketegangan. Kecurigaan berubah menjadi kepercayaan, kekhawatiran berganti dengan kebanggaan.
Momen itu menjadi bukti bahwa orang Minang bukan mudah dihasut atau diadu domba. Mereka memilih cerdas, bermoral, dan berbudaya. Aspirasi tersampaikan tanpa anarkis, keutuhan negeri tetap terjaga.
Dari ranah Minang, pesan ini menggema: Jayalah negeriku, bangkitlah Indonesia. Sumbar telah menunjukkan bahwa damai adalah kekuatan sejati.
Indonesia Satu, Sumbar Damai.