Pasaman,relasipublik – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Bupati Pasaman Tahun 2024.
Putusan Nomor 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 ini dibacakan dalam sidang pada Senin (24/2/2024) di Ruang Sidang Pleno Gedung I MK. Persidangan tersebut dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Perkara ini diajukan oleh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Pasaman Nomor Urut 2, Mara Ondak dan Desrizal, yang menggugat hasil Pilkada Pasaman. Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pasaman bertindak sebagai Termohon, sedangkan pasangan calon Nomor Urut 1, Welly Suhery dan Anggit Kurniawan Nasution, menjadi Pihak Terkait dalam sengketa ini.
Dalam putusannya, MK mendiskualifikasi Calon Wakil Bupati Nomor Urut 1, Anggit Kurniawan Nasution, karena statusnya sebagai mantan terpidana. MK juga membatalkan Keputusan KPU Pasaman Nomor 851 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pasaman Tahun 2024, serta Keputusan KPU Pasaman Nomor 600 Tahun 2024 tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Pasaman, khususnya terkait pencalonan Anggit Kurniawan Nasution. MK kemudian memerintahkan KPU Pasaman untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) tanpa mengikutsertakan Anggit Kurniawan Nasution dalam kontestasi.
Putusan ini menjadi sorotan berbagai pihak karena menunjukkan adanya kelemahan dalam proses verifikasi calon yang dilakukan oleh KPU. Kevin Philip, pengamat politik dari Spektrum Politika dan Sekretaris Yayasan Spektrum Kebangsaan Indonesia, menilai bahwa kasus ini menjadi bukti nyata bahwa ketidakjujuran kandidat dan kelalaian penyelenggara Pilkada dapat berdampak luas terhadap stabilitas politik daerah.
“Kasus ini menegaskan bahwa demokrasi tidak hanya soal siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi juga tentang bagaimana aturan main ditaati oleh semua pihak. Jika ada kandidat yang sejak awal tidak memenuhi syarat tetapi tetap diloloskan, maka konsekuensinya pasti akan menciptakan ketidakpastian politik seperti yang terjadi di Pasaman,” ujar Kevin.
Selain itu, Kevin menyoroti peran KPU yang seharusnya bertindak sebagai garda terdepan dalam memastikan kelayakan calon kepala daerah. Namun, dalam kasus ini, KPU justru melakukan kelalaian yang berdampak luas. “KPU seharusnya menjadi benteng terakhir dalam memastikan bahwa setiap calon benar-benar layak untuk maju dalam Pilkada. Namun, dalam kasus ini, kita melihat adanya kelemahan dalam sistem verifikasi yang justru merugikan banyak pihak, termasuk pasangan calon lainnya dan masyarakat pemilih,” jelasnya.
Menurutnya, dampak dari kesalahan ini tidak hanya dirasakan oleh Anggit Kurniawan yang akhirnya didiskualifikasi, tetapi juga Welly Suhery, pasangannya dalam kontestasi, yang hak politiknya turut terdampak. Dengan adanya PSU, bukan hanya proses Pilkada yang terganggu, tetapi juga stabilitas politik dan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu di daerah. “Keputusan MK ini pada akhirnya memaksa masyarakat untuk kembali ke bilik suara, yang artinya ada biaya politik, sosial, dan ekonomi yang harus ditanggung. Ini semua terjadi karena keteledoran yang seharusnya bisa dihindari sejak awal,” tegasnya.
Lebih jauh, Kevin menilai bahwa Anggit Kurniawan masih memiliki ruang untuk menempuh jalur hukum guna menuntut KPU atas kelalaian yang terjadi. “Secara hukum, ada kemungkinan bagi Anggit untuk menggugat KPU ke PTUN karena dia bisa berargumen bahwa pencalonannya sejak awal tidak seharusnya disetujui. Jika itu terjadi, maka ini akan menjadi preseden penting bahwa penyelenggara pemilu juga harus bertanggung jawab atas setiap keputusannya,” kata Kevin.
Selain itu, Kevin menekankan pentingnya peningkatan profesionalitas anggota KPU, khususnya dalam aspek pengetahuan hukum dan administrasi kepemiluan. “Seharusnya profesionalitas KPU dalam melakukan verifikasi calon ditingkatkan, baik dari segi kejelian administratif maupun pemahaman terhadap aturan hukum. Kesalahan mendasar seperti ini tidak boleh terulang di Pilkada selanjutnya. Jika hal-hal mendasar seperti verifikasi calon saja masih bermasalah, maka kualitas demokrasi kita patut dipertanyakan,” tuturnya.
Kasus ini harus menjadi peringatan bagi KPU di seluruh Indonesia bahwa kesalahan dalam verifikasi calon bisa berujung pada kekacauan politik yang lebih besar. Oleh karena itu, reformasi sistem seleksi kandidat menjadi keharusan agar Pilkada di masa depan tidak lagi diwarnai dengan sengketa hukum yang berlarut-larut. “Putusan MK ini tidak hanya membatalkan hasil Pilkada Pasaman, tetapi juga menjadi sinyal keras bahwa demokrasi yang sehat harus dibangun di atas kejujuran kandidat dan profesionalisme penyelenggara. Jika penyelenggara pemilu masih lalai dalam tugasnya, maka pemilih yang akan menanggung akibatnya,” pungkasnya.