PADANG, RELASI PUBLIK – Kelanjutan pembangunan jalan Pantai Padang-Bandara Internasional Minangkabau (BIM) terakhir kali dilakukan pada 2019. Sejak saat itu hingga masa kepemimpinan Mahyeldi sebagai Gubernur Sumbar, tidak ada kelanjutan pembangunannya. Tokoh masyarakat Kota Padang, Maidestal Hari Mahesa, mempertanyakan keseriusan Mahyeldi untuk melanjutkan pembangunan jalan tersebut.
“Pembangunan jalan Pantai Padang-BIM dimulai pada zaman Gubernur Gamawan Fauzi, dilanjutkan oleh Gubernur Irwan Prayitno. Di zaman Gubernur Mahyeldi, pembangunan jalan tersebut tidak ada sama sekali. Maka, saya mempertanyakan keseriusan Mahyeldi dan Pemprov Sumbar melanjutkan pembangunan jalan itu. Kalau serius, mengapa selama ini tidak ada kelanjutan pembangunan jalan itu oleh Pemprov Sumbar?” kata Esa di Padang, Selasa (3/9/2024).
Mantan anggota DPRD Padang tiga periode itu mengatakan bahwa pembangunan jalan Pantai Padang-BIM bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kawasan itu. Ia mengatakan bahwa hal itu terbukti dengan banyaknya tempat usaha yang tumbuh setelah adanya jalan dua jalur di Pantai Padang sekarang dari Simpang Masjid Al-Hakim hingga ke belakang Hotel Pangeran.
Karena itulah, kata Esa, pembangunan jalan Pantai Padang menuju BIM penting untuk diteruskan, bahkan harus diutamakan oleh Pemprov Sumbar. Ia menyayangkan setelah kepemimpinan Gubernur Irwan Prayitno, tidak ada lagi kelanjutan pembangunan jalan tersebut. Terakhir kali jalan tersebut dibangun pada 2019.
“Dengan tidak adanya kelanjutan pembangunan jalan itu, masyarakat rugi karena pertumbuhan ekonomi yang direncanakan tidak terwujud.
Esa menambahkan bahwa kalau pembangunan jalan tersebut dilanjutkan dalam lima tahun terakhir, setidaknya jalan itu sudah sampai ke depan Universitas Bung Hatta. Jika jalan itu sudah ada sampai ke UBH, kata Esa, dapat dibayangkan pertumbuhan ekonomi dengan tumbuhnya banyak bangunan usaha.
Jalan untuk Mitigasi Bencana
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) baru-baru ini mengeluarkan peringatan gempa megathrust setelah gempa 7,1 SR mengguncang Pulau Kyushu, Jepang, beberapa waktu lalu. Gempa tersebut disinyalir akan membuka gempa megathrust selanjutnya, termasuk di Indonesia. Berkaitan dengan hal itu, mitigasi untuk menghadapi tsunami di Padang menghangat kembali karena Padang termasuk daerah yang terancam tsunami jika terjadi gempa megathrust Mentawai dengan ancaman kekuatan 8,9 SR dan tsunami 12 meter.
Pakar kebencanaan Sumbar, Ade Edward, mengatakan bahwa tahun 2007 pada zaman Gubernur Gamawan Fauzi, Pemprov Sumbar sudah menyusun strategi untuk menghadapi ancaman tsunami. Strateginya ialah membangun jalan Pantai Padang hingga ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM).
Ade menjelaskan bahwa dengan adanya jalan Pantai Padang hingga ke BIM, harga tanah di sepanjang jalan itu naik karena memiliki nilai ekonomi lebih tinggi sebagai tempat usaha. Dengan demikian, transaksi jual beli tanah akan meningkat sehingga mendorong relokasi pemukiman warga ke tempat yang lebih aman. Warga di sana pun mendapatkan ganti rugi tanah dengan harga tinggi sehingga bisa membeli tanah di tempat aman dan mendirikan rumah permanen.
“Maka, secara tidak langsung, jumlah penduduk di pinggir pantai berkurang sehingga risiko bencana berkurang karena yang terdampak bencana ialah penduduk,” tutur Ade.
Lebih lanjut Ade menerangkan bahwa tata guna lahan tanah tersebut akan beralih dari pemukiman kurang aman tsunami ke penggunaan lahan untuk sektor usaha oleh pemodal, yang mendirikan bangunan permanen yang kuat, seperti hotel, restoran, yang mampu menahan tsunami. Bangunan-bangunan permanen aman gempa dan tsunami itu bisa didirikan oleh pemerintah maupun swasta. Contoh bangunan yang didirikan pemda ialah gedung Dinas Kebudayaan Sumbar. Sementara itu, bangunan yang dibangun swasta ialah hotel seperti Mercure, Ocean Beach Hotel, Hotel My All.
“Selain sebagai benteng tsunami, bangunan-bangunan itu bisa dijadikan shelter tsunami,” tuturnya.
Ade menceritakan bahwa rencana pembangunan jalan Pantai Padang hingga ke BIM disusun sebagai mitigasi untuk menghadapi tsunami setelah gempa 2007. Dalam perencanaan itu akan dibangun jalan dari Simpang Olo Ladang hingga ke BIM. Ketika itu di sana hanya ada rumah-rumah pondok milik nelayan yang berhadapan langsung dengan laut.
“Dulu hanya ada jalan dari Simpang Olo Ladang sampai ke Muara Padang. Dari Simpang Olo Ladang seterusnya ke arah ke Hotel Pangeran belum ada jalan permanen, tetapi baru ada jalan tanah setapak,” ucapnya.
Dengan tidak adanya kelanjutan pembangunan jalan itu, kata Ade, mitigasi menghadapi tsunami tidak berjalan. Padahal, dalam situasi seperti sekarang, ketika isu megathrust gempa Mentawai dan tsunami muncul kembali, keberadaan jalan tersebut terasa penting. (Rs/Nv)