Berita UtamaOpiniTERBARU

Ketika Fiskal Sumatera Barat Tertekan: Usulan Gaji ASN Ditanggung Pusat, Solusi atau Sinyal Krisis?

26
×

Ketika Fiskal Sumatera Barat Tertekan: Usulan Gaji ASN Ditanggung Pusat, Solusi atau Sinyal Krisis?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Alfisyahri mahasiswa Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat kini menghadapi tekanan fiskal yang semakin kuat seiring rencana pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) tahun 2026. Kondisi itu mendorong pemerintah daerah mengusulkan agar gaji ASN ditanggung pemerintah pusat. Namun, pemerintah pusat menyampaikan respons hati-hati karena kebijakan tersebut dinilai berpotensi menambah rigiditas APBN dan menciptakan moral hazard fiskal.

Tekanan fiskal Sumatera Barat bukanlah isu yang datang tiba-tiba. Hingga Maret 2025, sekitar 73,75% pendapatan daerah Sumbar berasal dari dana transfer pusat, atau sekitar Rp 4,87 triliun dari total pendapatan. Ketergantungan ini membuat APBD rentan ketika pemerintah pusat mengumumkan pemotongan TKD secara nasional hingga Rp 300 triliun pada 2026.

Bagi Sumatera Barat, proyeksi kehilangan dana mencapai lebih dari Rp 2,6 triliun untuk kabupaten/kota, serta Rp 533 miliar di tingkat provinsi. Di sisi lain, belanja rutin khususnya gaji ASN dan PPPK terus meningkat akibat rekrutmen dan kewajiban tunjangan. Ruang fiskal daerah makin menyempit, sementara pelayanan publik terancam ikut terpangkas.

Pemerintah Daerah: Usulan Pengambilalihan Gaji ASN

Melihat tekanan yang kian besar, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengusulkan agar pemerintah pusat menanggung penuh gaji ASN daerah. Langkah ini dinilai dapat menjaga keberlanjutan layanan publik dan mencegah pemotongan belanja sektor penting seperti pendidikan, sosial, dan infrastruktur.

Namun di balik usulan ini, muncul pertanyaan lebih besar:
Apakah langkah ini menyelesaikan masalah, atau justru mengindikasikan krisis fiskal struktural daerah?
Fenomena fiskal Sumatera Barat erat kaitannya dengan konsep Vertical Fiscal Imbalance (VFI), yaitu ketidakseimbangan antara kapasitas pendapatan daerah dan tanggung jawab belanja.

Tiga penelitian menguatkan temuan ini:

1. Anggriawan, Susilo & Prasetyia (2025)
Penelitian ini menjelaskan bahwa banyak daerah di Indonesia masih sangat bergantung pada bantuan uang dari pemerintah pusat, meskipun otonomi daerah sudah berjalan lama. Karena terlalu bergantung, daerah sering sulit menutup anggaran dan mudah mengalami kekurangan dana.

2. Sumalauda, Widyawati & Rezki (2022)
Penelitian ini menemukan bahwa jika daerah terlalu tergantung pada dana pusat, maka pendapatan asli daerah (PAD) yang seharusnya digali sendiri oleh daerah menjadi sulit meningkat. Inilah yang terjadi di Sumbar: PAD kecil → bergantung pada pusat → keuangan daerah mudah goyah.

3. Liu & Liu (2021)
Studi internasional ini menunjukkan bahwa daerah-daerah di negara berkembang dengan kemampuan keuangan lemah akan semakin bergantung pada pemerintah pusat. Temuan ini cocok dengan kondisi Sumbar yang kesulitan mandiri secara fiskal.

Masalah fiskal Sumbar bukan semata persoalan tahun berjalan, tetapi merupakan masalah struktural yang sudah berlangsung lama.
Posisi Pemerintah Pusat: Kekhawatiran Moral Hazard dan Rigiditas APBN

Dari sudut pandang pemerintah pusat, khususnya sesuai pendekatan Menko Perekonomian Purbaya Yudhi Sadewa, kebijakan fiskal nasional tidak boleh memperbesar ketergantungan daerah.

Pemerintah pusat menilai bahwa: ​
• Mengambil alih gaji ASN menambah rigiditas APBN.
• APBN sudah menopang sektor prioritas: inflasi, pangan, kesehatan, hilirisasi, infrastruktur.
• Beban tambahan risikonya besar dan permanen.
• Kebijakan seperti ini dapat menciptakan moral hazard, karena daerah menjadi enggan meningkatkan PAD atau efisiensi.

Purbaya juga menekankan bahwa desentralisasi fiskal tidak boleh kehilangan substansinya. Jika pusat kembali mengambil alih belanja rutin daerah, maka akan terjadi recentralization, yang melemahkan kemandirian fiskal daerah. Karena itu, pusat lebih mendorong:
• Reformasi struktural TKD.
• Perbaikan tata kelola anggaran daerah.
• Peningkatan kapasitas pendapatan lokal dan local taxing power.

Para pengambil kebijakan menilai bahwa solusi ideal bukan memindahkan beban belanja ke APBN, tetapi memperkuat desain fiskal yang seimbang.
Langkah pertama yang dapat diambil adalah adanya reformasi hubungan fiskal pusat–daerah yang disusun bersama, di mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah sama-sama terlibat dalam merumuskan desain yang lebih adil dan responsif.

Pada tingkat pusat, perbaikan struktur Dana Alokasi Umum (DAU) diperlukan agar alokasinya lebih proporsional dan mempertimbangkan kemampuan fiskal daerah serta kebutuhan belanja yang mendesak.
Di sisi lain, pemerintah daerah juga perlu mengambil peran aktif, mulai dari meningkatkan efektivitas pengembangan PAD, memperbaiki basis data perpajakan, hingga memperkuat tata kelola anggaran agar lebih efisien dan berorientasi pelayanan publik.

Dengan langkah ini, daerah tidak hanya bergantung pada pusat, tetapi turut membangun kemandirian fiskalnya sendiri.
Untuk jangka panjang, pemerintah pusat dan daerah dapat merumuskan skema insentif bersama misalnya penghargaan bagi daerah yang berhasil meningkatkan pendapatan lokal atau memperbaiki kualitas belanja.

Sebaliknya, daerah juga perlu diberikan fleksibilitas yang cukup untuk menyesuaikan kebijakan fiskal dengan karakteristik dan potensi ekonomi masing-masing.

Dengan pendekatan kolaboratif, sistem fiskal Indonesia dapat bergerak menuju struktur yang lebih seimbang dan berkelanjutan. Keterlibatan aktif kedua belah pihak pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan memastikan penguatan kemandirian fiskal sekaligus menjaga layanan publik tetap berjalan optimal bagi masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *