Opini

Kevin Philip I Peneliti Spektrum Politika I Mahasiswa Megister Ilmu Politik Universitas Andalas

25
×

Kevin Philip I Peneliti Spektrum Politika I Mahasiswa Megister Ilmu Politik Universitas Andalas

Sebarkan artikel ini

“BUMN itu milik rakyat Indonesia.” Pernyataan sederhana namun sarat makna dari Dony Oskaria ini menjadi pintu masuk untuk memahami cara ia memimpin respons BUMN terhadap bencana banjir di Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara. Di tengah situasi darurat yang menuntut kehadiran negara secara cepat dan konkret, Dony mengingatkan kembali bahwa BUMN bukan semata entitas korporasi yang bekerja berdasarkan logika bisnis, melainkan instrumen publik yang harus berdiri di garis depan ketika rakyat berada dalam kondisi paling rentan.

Karena itu, begitu mendarat di Bandara Internasional Minangkabau, ia langsung menggerakkan seluruh jajaran BUMN untuk memastikan pertolongan tiba dengan cepat dan terkoordinasi. Prinsip bahwa BUMN adalah milik rakyat menjadi alasan mengapa kehadiran mereka tidak boleh menunggu rapat formal atau prosedur berlarut—melainkan harus segera bekerja untuk memulihkan kehidupan warga yang terdampak.

Ketika turun di Bandara Internasional Minangkabau, Dony tidak mengambil jeda. Ia langsung menggelar rapat koordinasi darurat bersama para direktur utama BUMN strategis PT PLN, PT Telkom Indonesia, PT Semen Padang, PT Pertamina, perusahaan konstruksi pelat merah, dan jajaran Himbara. Pertemuan itu juga dihadiri anggota DPR RI Andre Rosiade, memperkuat hubungan pusat-daerah dalam upaya pemulihan. Namun fokus utama Dony bukan sekadar meninjau laporan, melainkan mengingatkan para pemimpin BUMN akan mandat mereka yang paling hakiki. Ketika banyak pejabat berbicara soal manajemen risiko, Dony hadir dengan narasi yang lebih fundamental:

“BUMN itu milik rakyat Indonesia.”

Pernyataan ini bukan retorika kosong. Ia menegur, mengingatkan, dan sekaligus mengarahkan agar seluruh direktur BUMN mengerahkan kemampuan maksimal. Bencana, menurutnya, bukan ruang untuk kalkulasi anggaran sempit, tetapi ruang bagi BUMN menunaikan kembali hak publik yang melekat pada keberadaan mereka.

Di hadapan para dirut, Dony menegaskan:

“Ini kewajiban kita.”

Bantuan bukan lagi diposisikan sebagai charity, melainkan bagian dari tanggung jawab struktural perusahaan negara yang dibangun dengan dana publik dan bekerja untuk kesejahteraan publik. Dony mendorong pemanfaatan TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) secara optimal bukan untuk program kosmetik, tetapi untuk kebutuhan mendesak seperti jembatan, sekolah, dan fasilitas vital yang luluh lantak diterjang bencana. Pendekatan ini menghadirkan perspektif baru, yaitu pemulihan pascabencana sebagai pemulihan hak warga negara, bukan sekadar proyek sosial BUMN.

BUMN Sebagai Kepanjangan Tangan Rakyat

Dalam kajian politik ekonomi, BUMN sering diperdebatkan posisinya, apakah ia entitas korporasi yang mengejar efisiensi, atau perpanjangan tangan negara untuk menjamin kesejahteraan warga? Apa yang dilakukan Dony memberi jawaban yang tegas, yaitu BUMN adalah instrumen publik. Kepemimpinan yang ia tunjukkan mengembalikan BUMN ke ruang sosialnya ruang yang sering kabur oleh jargon modernisasi dan tata kelola korporasi.

Respons cepat para BUMN membuktikan bahwa ketika narasi “milik rakyat” ditegakkan, mobilisasi sumber daya berjalan jauh lebih cepat dan lebih fokus. PT Semen Padang, misalnya, mengucurkan Rp210 juta melalui Semen Padang Peduli Bencana, memperkuat rekonstruksi awal infrastruktur rumah warga. Bank BTN mengirimkan Rp300 juta dalam bentuk logistik. Bank BNI mengalokasikan Rp700 juta khusus untuk Sumatera Barat untuk pemulihan ekonomi dan sosial masyarakat.

Hal ini menunjukkan bahwa program TJSL bukan sekadar formalitas tahunan, tetapi ketika diarahkan dengan kepemimpinan yang tepat, ia menjadi alat distribusi kesejahteraan langsung untuk rakyat sejalan dengan identitas BUMN sebagai entitas publik.

BUMN Menciptakan Public Value Creation

Arahan Dony agar BUMN bergerak “semaksimal mungkin” bukan sekadar instruksi teknis, tetapi merupakan dorongan menuju pergeseran paradigma yang fundamental, dari cara pandang korporatis menuju kerangka kerja public value creation. Dalam banyak kasus, lembaga negara termasuk BUMN sering beroperasi dalam logika perusahaan yang terpisah dari dinamika kerentanan masyarakat. Mereka fokus pada profitabilitas, laporan kinerja, dan target finansial, seolah-olah legitimasi mereka hanya berasal dari efisiensi ekonomi. Namun Dony membawa pendekatan berbeda, keberadaan BUMN harus dirasakan secara konkret oleh rakyat, terutama pada situasi paling krisis.

Ketika listrik padam di tengah banjir, ketika jaringan komunikasi terputus dan membuat keluarga tidak bisa saling memberi kabar, ketika warga kehilangan tempat tinggal dan akses kebutuhan dasar, maka di situlah BUMN diuji. Melalui respons cepat Semen Padang dengan Semen dalam pembangunan infrastruktur rusak, PLN untuk memulihkan jaringan, Telkom untuk menstabilkan komunikasi, serta BUMN konstruksi untuk memperbaiki infrastruktur vital, Dony menempatkan BUMN sebagai produsen nilai publik, bukan sekadar operator negara.

Dalam kerangka public value creation, nilai publik diciptakan ketika kebijakan, sumber daya, dan tindakan lembaga negara menghasilkan manfaat nyata yang meningkatkan rasa aman, keberlangsungan hidup, dan kualitas kesejahteraan warga. Bukan laba, bukan dividen, bukan performa finansial, tetapi nilai yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

Dan apa yang dilakukan Dony merupakan koreksi ideologis: BUMN tidak boleh menjadi entitas yang berjalan paralel dari kebutuhan rakyat. Ia membangun kembali jembatan kepercayaan antara perusahaan negara dan masyarakat yang mereka layani. Dengan menekankan bahwa BUMN harus hadir secara substantif di titik-titik paling genting, Dony memperlihatkan bahwa nilai publik adalah inti dari mandat eksistensial BUMN. Inilah transformasi praksis, yaitu menjadikan BUMN bukan hanya alat ekonomi negara, melainkan aktor pencipta nilai sosial bagi publik.

Dalam situasi krisis multidimensi, legitimasi negara diuji. BUMN sebagai perpanjangan tangan negara pun diuji, apakah mereka bekerja untuk rakyat atau menjauh dari rakyat? Melalui langkah-langkah cepatnya, Dony Oskaria memperlihatkan model kepemimpinan yang mengembalikan marwah BUMN sebagai milik publik bukan milik elit korporasi, bukan milik pejabat, tetapi milik rakyat Indonesia.

Dengan menggerakkan BUMN melalui nilai dasar tersebut, ia menunjukkan bahwa negara dapat hadir bukan hanya melalui kebijakan, tetapi melalui aksi nyata yang menyentuh kebutuhan terdalam masyarakat yang terdampak bencana.

Apresiasi terhadap Dony bukan semata karena kecepatannya menggelar rapat darurat atau ketegasannya memberi arahan, tetapi karena ia menempatkan kembali BUMN pada posisi yang benar, yaitu sebagai institusi milik rakyat yang wajib bekerja untuk rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *