Korupsi adalah kejahatan yang bekerja diam-diam tetapi meninggalkan jejak yang terasa dalam di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ia tidak hanya mencuri anggaran negara, tetapi juga melumpuhkan potensi pembangunan, menciptakan hambatan struktural, dan melemahkan kualitas layanan publik yang seharusnya menjadi hak seluruh warga negara.
Di tengah upaya Indonesia menghadapi ketidakpastian ekonomi global—mulai dari volatilitas harga komoditas, tantangan digitalisasi, hingga ketimpangan ekonomi—praktik korupsi justru memperberat langkah bangsa dalam mengejar kemajuan. Triliunan rupiah hilang setiap tahun, bukan karena bencana, tetapi karena ulah segelintir orang yang memanfaatkan jabatan publik sebagai ladang keuntungan pribadi. Ketika anggaran pembangunan tergerus, kesejahteraan rakyat pun ikut tertahan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik menjadi semakin jauh dari jangkauan.
Pertumbuhan ekonomi membutuhkan fondasi yang kuat berupa kepastian hukum, transparansi birokrasi, serta sistem yang akuntabel. Namun semua prinsip tersebut runtuh ketika praktik pungutan liar, suap, dan manipulasi anggaran dibiarkan menjadi budaya. Tidak sedikit proyek pembangunan yang kehilangan kualitas akibat pemotongan anggaran demi kepentingan pribadi.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat menghadapi harga bahan pokok yang naik karena rantai distribusi yang penuh biaya ilegal, perizinan usaha yang sulit diakses, serta investor yang enggan menanam modal karena birokrasi yang koruptif. Akibatnya, ekonomi bergerak lebih lambat dan tidak kompetitif. Ketika dana publik tidak lagi digunakan untuk pelayanan masyarakat, dampaknya sangat luas: kualitas pendidikan merosot, layanan kesehatan tidak memadai, hingga lapangan pekerjaan sulit tercipta. Generasi muda menjadi pihak yang paling dirugikan, karena mereka mewarisi sistem yang mahal dan tidak efisien.
Korupsi memiliki efek berantai terhadap ketimpangan sosial. Ketika wewenang publik diperdagangkan, kebijakan ekonomi dan pembangunan berubah menjadi transaksi yang menguntungkan kelompok tertentu. Bantuan sosial bisa dialihkan demi kepentingan politik, infrastruktur tidak dibangun berdasarkan kebutuhan, dan kebijakan ekonomi menjadi bias terhadap pemilik modal.
Dalam pengadaan barang dan jasa, korupsi membuat anggaran membengkak sementara hasil proyek jauh di bawah standar. Jalan cepat rusak, fasilitas kesehatan minim, irigasi tak berfungsi—semuanya menjadi beban masyarakat kecil yang hidup dalam keterbatasan. Ketimpangan ini tidak lahir karena perbedaan kemampuan, melainkan karena sistem yang memihak pada mereka yang memiliki akses kekuasaan. Inilah bentuk kemiskinan struktural yang tercipta akibat korupsi.
Korupsi yang dibiarkan tanpa penegakan hukum yang memadai menimbulkan krisis kepercayaan kepada negara. Masyarakat menjadi apatis, merasa bahwa suara mereka tidak berarti apa-apa dalam sistem yang korup. Banyak anak muda kemudian menyimpulkan bahwa jalan pintas lebih menguntungkan dibanding kerja keras. Jika kepercayaan publik tergerus dan nilai kejujuran dianggap tidak relevan, maka pembusukan moral akan merembet ke berbagai sendi kehidupan. Krisis kepercayaan ini jauh lebih berbahaya daripada kerugian ekonomi, karena menyentuh inti dari fondasi sosial bangsa. Tanpa kepercayaan publik, negara kehilangan legitimasi untuk menjalankan kebijakan publik yang efektif.
Generasi muda memiliki peran penting dalam menumbuhkan budaya integritas. Dengan kemampuan digital yang kuat, mereka dapat menjadi pengawas sosial yang kritis melalui media sosial, teknologi, maupun komunitas kampus. Gen Z dikenal sebagai generasi yang vokal terhadap ketidakadilan, tidak takut bersuara, dan memiliki tingkat kepedulian sosial yang tinggi.
Jika integritas ditanamkan sejak awal, generasi ini berpotensi menjadi pemimpin masa depan yang membawa perubahan dalam budaya politik Indonesia. Gerakan antikorupsi tidak harus dimulai dari jabatan tinggi; tindakan sederhana seperti menolak gratifikasi, menyuarakan kritik yang konstruktif, serta membagikan edukasi dapat menjadi langkah nyata dalam memperbaiki sistem.
Perlawanan terhadap korupsi dapat dimulai dari hal-hal kecil: menolak segala bentuk pemberian yang mencurigakan, mempelajari dan mengawasi kebijakan publik, membagikan konten edukatif tentang bahaya korupsi, mendorong kampus menegakkan budaya integritas, serta bergabung dengan organisasi atau gerakan antikorupsi. Sekecil apa pun langkah tersebut, apabila dilakukan secara konsisten oleh banyak orang, akan menghasilkan perubahan besar bagi transparansi dan keadilan.
Korupsi bukan hanya merampas anggaran negara; ia menghancurkan kepercayaan, mematahkan harapan, dan mengancam masa depan generasi mendatang. Karena itu, pemberantasan korupsi bukan sekadar urusan hukum, melainkan upaya menyelamatkan cita-cita bangsa. Generasi muda harus berdiri di garis depan perubahan ini. Masa depan Indonesia tidak akan berubah jika budaya korupsi tetap dibiarkan. Dan masa depan itu hanya akan lebih terang jika keberanian, integritas, dan kesadaran kolektif menjadi fondasi melawan korupsi.
Penulis : Talitha Ushwatun Hasanah, Mahasiswi Ilmu Politik, Univeritas Andalas












