BeritaTERBARU

Meluruskan Sejarah dan Fungsi: LKAAM dan KAN Bukan Lembaga Bertingkat

21
×

Meluruskan Sejarah dan Fungsi: LKAAM dan KAN Bukan Lembaga Bertingkat

Sebarkan artikel ini

Padang,relasipublik — Belakangan ini terjadi kerancuan pemahaman di tengah masyarakat mengenai hubungan antara Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) dan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Banyak yang mengira bahwa KAN merupakan bagian atau bawahan dari LKAAM. Padahal, secara struktural maupun historis, kedua lembaga ini tidak memiliki hubungan hierarkis.

Sekretaris Umum LKAAM Sumatera Barat, JR. Dt. Bandaro Bendang, memberikan penjelasan penting terkait asal-usul dan fungsi kedua lembaga adat ini, agar tidak terjadi kesalahpahaman lebih jauh.

“LKAAM lahir pada tahun 1966 atas inisiasi Sekber Golkar. Tugas untuk membentuk lembaga ini di Sumatera Barat diberikan kepada almarhum Bapak Saafroeddin Bahar,” jelas JR.

Pembentukan LKAAM pada saat itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap MTKAAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau) yang dicurigai memiliki anggota yang terpapar ideologi komunis. “Karena indikasi dugaan keterlibatan dalam G30S, MTKAAM akhirnya dibubarkan oleh pemerintah, dan LKAAM pun menjadi wadah baru bagi Niniak Mamak yang bersih dari paham tersebut. Walaupun saat itu isu keterlibatan G30S masih diperdebatkan,” tambahnya.

Sementara itu, KAN baru dibentuk pada tahun 1983, sebagai respons atas lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan No. 5 Tahun 1979 yang mengubah sistem pemerintahan nagari menjadi desa. Perubahan ini membuat posisi Niniak Mamak sebagai bagian dari kesatuan hukum adat di nagari menjadi kabur.

“Untuk menjaga eksistensi Niniak Mamak serta menghidupkan kembali nagari sebagai kesatuan hukum adat, maka dibentuklah KAN. Fungsi KAN adalah mengartikulasikan peran Niniak Mamak dalam tatanan kehidupan di nagari yang sudah tidak lagi masuk dalam struktur pemerintahan formal,” urainya.

Dengan demikian, ditegaskan bahwa KAN bukan bagian dari LKAAM. Keduanya merupakan lembaga berbeda yang dibentuk oleh pemerintah dengan fungsi yang juga berbeda.

“LKAAM lebih fokus pada pelestarian adat dan budaya Minangkabau secara umum, sedangkan KAN merupakan lembaga adat di tingkat nagari yang memfasilitasi kepentingan adat lokal, termasuk soal Sako jo Pusako,” jelas Dt. Bandaro Bendang.

Meskipun tidak memiliki hubungan struktural, namun dalam praktiknya, LKAAM dan KAN senantiasa menjalin koordinasi demi kemaslahatan anak nagari.

“Kita perlu kembali pada petuah orang tua dulu: Alua samo dituruik, Limbago samo dituang. Artinya, saling menghormati dan memahami peran masing-masing. Tidak ada yang lebih tinggi, tapi semua berjalan sesuai porsinya,” pungkasnya.

Penjelasan ini menjadi pemantik diskusi penting bagi masyarakat dan pemangku kepentingan adat di Sumatera Barat agar dapat memahami kembali struktur dan fungsi lembaga adat secara jernih dan historis.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *