Berita UtamaOpiniPendidikanTERBARU

Meneladani Integritas Bung Hatta: Sosok Jujur dan Bersahaja

101
×

Meneladani Integritas Bung Hatta: Sosok Jujur dan Bersahaja

Sebarkan artikel ini

Oleh: Pijar Qolbun Sallim
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas

Bung Hatta berkata bahwa, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur sulit diperbaiki.” Kutipan legendaris ini menggambarkan nilai yang menjadi napas hidup Mohammad Hatta, sang proklamator. Bagi Bung Hatta, kejujuran adalah pusaka paling berharga, lebih bernilai dibandingkan harta atau jabatan. Dengan jujur sebagai landasan, ia menjadi simbol integritas yang patut diteladani sepanjang zaman.

Integritas, seperti yang dijalani Bung Hatta, bukan hanya soal konsistensi antara ucapan dan tindakan, tetapi juga keberanian untuk berlaku adil, bahkan sejak dalam pikiran. Bung Hatta tidak sekadar berbicara tentang nilai-nilai luhur, ia menghidupinya. Di tengah godaan berbagai tawaran jabatan dan fasilitas negara, ia tetap bersikap bersahaja, menempatkan amanah di atas segala kepentingan pribadi.

Banyak cerita dari kehidupan Bung Hatta yang mencerminkan nilai ini. Salah satunya adalah bagaimana ia menjaga garis tegas antara urusan negara dan pribadi. Putri sulungnya, Meutia Hatta, mengisahkan bahwa mobil dinas Wakil Presiden hanya digunakan untuk tugas negara.

Bahkan, ketika harus membawa sang istri dalam acara resmi, mobil itu baru digunakan jika acara tersebut berkaitan langsung dengan tanggung jawab kenegaraan. Anak-anak Bung Hatta sama sekali tidak diperkenankan menaiki mobil tersebut.

Lebih menginspirasi lagi adalah keteguhan Bung Hatta menolak segala bentuk nepotisme. Ketika adiknya meminta bantuan untuk memasang telepon di rumah ketika masa itu, Bung Hatta dengan tegas menjawab, “Mengapa tidak langsung menghubungi pihak Telkom?” Jabatan Wakil Presiden tidak pernah ia gunakan untuk memberikan keuntungan bagi keluarga, apalagi untuk dirinya sendiri.
Kisah lainnya adalah ketika kebijakan sanering (pemotongan nilai uang) dirancang.

Meski tahu kebijakan itu akan memengaruhi keuangan keluarganya, Bung Hatta tetap merahasiakannya, bahkan kepada istrinya yang sedang menabung untuk membeli mesin jahit. Ketika ditanya mengapa ia tidak memberi tahu, ia menjawab, “Biarlah kita rugi sedikit demi kepentingan negara.”

Kesederhanaan Bung Hatta bukanlah hasil dari keadaan, melainkan pilihan. Ia dengan sadar menjalani hidup yang bersahaja, meskipun memiliki peluang besar untuk menikmati kemewahan.

Di akhir hayatnya, ia bahkan sempat kesulitan membayar tagihan listrik. Tawaran jabatan dan keuntungan yang berpotensi menciptakan konflik kepentingan ia tolak mentah-mentah.
Ada satu kisah yang mengiris hati.

Bung Hatta pernah bercita-cita memiliki sepatu Bally, sepatu yang terkenal dan berkualitas di Indonesia pada tahun 1950-an. Namun, mustahil baginya yang hidup dengan begitu bersahaja dan pantang meminta-minta atau memanfaatkan jabatannya sebagai Wakil Presiden.

Ia menabung, tetapi uang itu selalu terpakai untuk kebutuhan rumah tangga dan membantu kerabat yang kesulitan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally itu tak pernah terwujud, tetapi impian itu tetap ia simpan bersama potongan iklan dan alamat penjualnya yang ditemukan di dalam dompet Bung Hatta.

Bahkan hingga akhir hayatnya, Bung Hatta menunjukkan betapa ia berdiri sejajar dengan rakyat yang ia perjuangkan. Dalam surat wasiatnya, ia meminta agar tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sebaliknya, ia ingin beristirahat di kuburan rakyat biasa, di tengah-tengah mereka yang nasibnya ia perjuangkan sepanjang hidup.

“Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamasikannya Indonesia merdeka. Saya tidak ingin dikubur di makam pahlawan. Saya ingin dikubur di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya.”

Bung Hatta adalah bukti bahwa integritas bukan sekadar kata, melainkan prinsip hidup yang ditempa dengan disiplin dan keikhlasan. Ia melatih dirinya untuk konsisten dengan nilai-nilai yang ia yakini, membangun pondasi yang tak tergoyahkan meskipun badai godaan datang silih berganti.

Hari ini, di tengah krisis kepercayaan terhadap para pemimpin, kisah Bung Hatta adalah mercusuar yang mengingatkan kita bahwa kejujuran dan amanah adalah pilar utama yang tidak boleh digadaikan. Bung Hatta tidak hidup untuk memanfaatkan negara; ia hidup untuk melayani, dengan hati yang bersahaja dan prinsip yang kokoh.

Bung Hatta telah lama tiada, tetapi semangat dan nilai-nilainya tetap hidup. Ia mengajarkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin bukan soal jabatan, melainkan soal keberanian untuk berdiri tegak di atas prinsip, meski dunia di sekelilingnya tergoda untuk tunduk pada hal-hal fana.

Bung Hatta adalah teladan sejati, sosok yang memberi makna baru pada kata integritas. Menjadi hal yang wajar apabila kita bertanya, mengapa Bung Hatta begitu gigih dalam menjaga integritas di dalam dirinya? apa yang membuat Bung Hatta begitu setia pada nilai-nilai integritas?

Hal ini karena ketika karakter integritas luntur, utamanya pada sosok seorang pejabat publik yang memegang mandat serta kekuasaan yang besar, maka akan mengakibatkan sikap amoral yang menyimpang dan tercela, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bung Hatta memahami bahwa integritas bukan hanya tameng, tetapi juga pedoman.

Di tengah gelombang godaan yang mendera manusia dengan kekuasaan, integritas adalah perisai dari sikap kebinatangan yang mengintai. Tanpa integritas, kekuasaan menjadi seperti binatang buas yang membabi buta, menggigit, mencabik, dan merusak apa saja yang menghalanginya.

Ketika seorang pemimpin tanpa integritas, yang hidupnya dikendalikan oleh hawa nafsu. Ia menjadi tamak dan kejam yang menghalalkan segala cara demi memenuhi kepentingan dan keinginannya. Ketika prinsip dan nilai-nilai moral lenyap, manusia menjadi makhluk yang manipulatif, munafik, dan brutal. Dalam kondisi ini, apapun bisa dilakukan demi memuaskan nafsu.

Jabatan menjadi alat untuk memperkaya diri, kekuasaan menjadi senjata untuk menindas, dan keputusan atau kebijakan politik menjadi barang transaksi semata. Hal ini akan menjalar secara sistematis dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermoral dan berbudi pekerti luhur.

Tindakan korupsi bukan sekadar mengambil yang bukan hak. Ia adalah virus yang menyebar dengan efek domino yang merusak. Dari sisi ekonomi, korupsi memperlambat pertumbuhan ekonomi, menambah utang negara, dan melemahkan kepercayaan investor.

Sementara itu, masyarakat menanggung akibat langsung: kemiskinan yang mencekik, biaya hidup yang melambung, hingga meningkatnya angka kriminalitas dan perceraian. Korupsi juga menciptakan citra gelap pada integritas pemerintah.

Citra negara di mata publik merosot menjadi pemerintahan koruptif, penuh intrik, dan kehilangan legitimasi publik. Rakyat berhenti percaya, dan ketika kepercayaan itu sirna, bangsa seperti kehilangan arah dan identitasnya.

Tidak hanya manusia yang menderita, tetapi lingkungan pun menjadi korban. Korupsi memungkinkan pembabatan hutan secara ilegal, pembangunan pabrik tanpa memedulikan analisis dampak lingkungan, dan eksploitasi alam yang mengabaikan kemaslahatan.

Ironisnya dunia yang diwariskan kepada generasi berikutnya adalah dunia yang terkuras, tercemar, dan kehilangan keharmonisan. Maka, ketika kita bertanya mengapa Bung Hatta begitu erat memegang nilai-nilai integritas, jawabannya sederhana: karena ia tahu, tanpa integritas, kekuasaan hanya akan melahirkan kehancuran dan kehancuran itu adalah penghianatan terbesar bagi bangsa yang ia cintai.

Hari ini, pertanyaan besar menggema: adakah sosok yang mampu mewarisi sikap dan nilai-nilai luhur yang dijalankan Bung Hatta selama hidupnya, terutama saat ia menjabat sebagai Wakil Presiden? Di tengah badai krisis kepercayaan dan kelangkaan integritas yang melanda negeri ini, jawaban atas pertanyaan itu terasa semakin mendesak.

Bila integritas kini seperti oasis di padang tandus, maka langkah konkret diperlukan untuk menumbuhkannya kembali. Harapan itu tidaklah sia-sia, karena perubahan besar selalu dimulai dari hal-hal kecil, dari ruang keluarga, ruang kelas, hingga ruang diskusi para organisatoris.
Perjuangan menanamkan nilai-nilai integritas dimulai dari rumah. Orang tua, sebagai guru pertama dalam kehidupan seorang anak, memegang peran fundamental.

Dengan mengajarkan kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan, anak-anak akan tumbuh memahami bahwa hidup bukanlah sekadar soal memenuhi keinginan pribadi, melainkan tentang berbuat benar, meski kadang terasa berat.

Di luar rumah, sektor pendidikan harus menjadi kawah candradimuka yang menempa generasi muda dengan nilai-nilai moral. Guru dan dosen tidak hanya dituntut mengajarkan ilmu, tetapi juga menjadi teladan dalam perilaku.

Lebih jauh, kurikulum yang mengintegrasikan pelajaran tentang integritas dapat menjadi pondasi kuat, memastikan setiap siswa dan mahasiswa paham pentingnya kejujuran, amanah, dan rasa tanggung jawab dalam kehidupan.

Di ruang publik, para aktivis dan organisatoris memegang tanggung jawab yang tak kalah besar. Mereka adalah lokomotif perubahan, pembawa semangat yang mampu mendorong gerbong masyarakat menuju perbaikan.

Dalam setiap program yang dijalankan, nilai-nilai integritas harus menjadi landasan. Sebuah organisasi, besar atau kecil, akan memiliki daya dobrak yang luar biasa bila setiap anggotanya konsisten menempatkan kejujuran dan rasa tanggung jawab di atas segalanya.

Melalui tindakan nyata, para aktivis bisa menghidupkan kembali nilai-nilai Bung Hatta dalam setiap langkah mereka. Entah itu dengan mengelola program yang transparan, menghindari praktik manipulatif, hingga berdiri tegak melawan godaan kekuasaan. Mereka tidak hanya akan menjadi teladan, tetapi juga inspirasi bagi masyarakat luas.

Bayangkan sebuah Indonesia di mana nilai-nilai integritas tidak hanya menjadi jargon, tetapi menjadi napas di setiap lini kehidupan. Sebuah negeri yang dihuni oleh generasi yang jujur, bertanggung jawab, dan adil, siap mengemban amanah besar dengan kepala tegak.

Generasi inilah yang kelak akan menjadi penerus Bung Hatta, membangun bangsa dengan semangat yang lurus, memimpin dengan hati yang bersih, dan hidup untuk melayani, bukan dilayani.
Mengembalikan integritas ke dalam jiwa bangsa ini bukanlah tugas mudah, tetapi bukan pula hal mustahil.

Dengan dimulai dari keluarga, dikuatkan oleh pendidikan, dan ditopang oleh peran para pemuda aktivis, Indonesia dapat bermimpi besar untuk masa depan.

Dan mimpi itu, suatu hari nanti, akan menjadi nyata. Kita hanya perlu meneladani satu hal dari Bung Hatta: integritas adalah pusaka yang harus dijaga, meski dunia seakan memaksa kita untuk meninggalkannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *