Kabupaten Tanah Datar

MTQ Tanpa Empati: Ketika Qori dan Qoriah Dibiarkan Duduk di Pelataran Parkir, Nurani Kita yang Sebenarnya Gundul

167
×

MTQ Tanpa Empati: Ketika Qori dan Qoriah Dibiarkan Duduk di Pelataran Parkir, Nurani Kita yang Sebenarnya Gundul

Sebarkan artikel ini

sumbar.relasipublik.com // Tanah Datar

Ada pemandangan yang menampar nurani di tengah pembukaan MTQ Nasional tingkat kecamatan Lima Kaum pada Sabtu (11/10),  sebuah ironi yang mencoreng makna syiar Islam: 80 peserta MTQ Nasional ke-VI tingkat Kecamatan Lima Kaum terpaksa duduk di lantai (pelataran mesjid yang kasar ) tanpa alas, tanpa kursi, tanpa penghormatan.

Mereka datang dari lima nagari, membawa nama daerah dan semangat dakwah, tapi disambut dengan ketidaksiapan panitia yang memalukan. Setelah berjalan sejauh tiga kilometer dalam pawai pembukaan, para peserta justru harus bersila bahkan ada yg jongkok di bawah terik matahari di halaman masjid — sementara pejabat dan undangan duduk nyaman di kursi berjejer rapi.

“Kami sedih sekali. Ini acara keagamaan, tapi panitianya seolah tak siap. Kami diundang, tapi tak disediakan tempat duduk sama sekali,” tutur lirih seorang official peserta dari salah satu nagari yang enggan disebut namanya.

Ketidaksiapan yang Diakui, Tapi Tak Ditanggung

Ketua LPTQ Kecamatan Lima Kaum H. Zulhermi, S.Ag, tanpa berkelit mengakui bahwa panitia memang tidak siap.

“Memang benar, tidak ada kesiapan sama sekali dari panitia,” ujarnya singkat.

Sebuah pengakuan jujur, namun sekaligus menelanjangi lemahnya manajemen kegiatan yang seharusnya mengedepankan penghormatan terhadap pembaca Al-Qur’an.

Camat Lima Kaum, Beni Oriza, SE, yang baru menjabat, mencoba menenangkan dengan alasan klasik: keterbatasan anggaran.

“Kami akan evaluasi dan pastikan ke depan lebih baik. Ini juga bagian dari persiapan untuk MTQ tingkat kabupaten di Pariangan tahun 2026,” katanya.

Namun publik justru mempertanyakan: apakah menghormati para Qori dan Qoriah butuh anggaran besar?

Nilai Syiar yang Tergadaikan oleh Formalitas

Walinagari Lima Kaum, Fadli Tarmizi, SH, turut mengakui bahwa panitia memang lalai.

“Benar, para kafilah tidak diberi tempat duduk. Sedih rasanya melihat anak-anak kita yang membawa nama nagari harus duduk di lantai tanpa alas,” ujarnya prihatin.

Suara kritis juga datang dari anggota DPRD Tanah Datar, H. Ir. Herri Wildani, yang menilai masalah ini bukan semata soal teknis, tapi krisis nilai dan tata kelola keagamaan.

“Keterbatasan anggaran bisa dimaklumi, tapi kekurangan empati tidak bisa dimaafkan. Kita akan evaluasi dan perjuangkan agar pelaksanaan MTQ mendatang lebih manusiawi,” tegasnya.

Wildani menekankan, MTQ bukan sekadar lomba, melainkan wadah pembinaan akhlak dan penghormatan terhadap kalam Allah.

“Menghormati Qori dan Qoriah berarti menghormati Al-Qur’an itu sendiri,” imbuhnya.

Ketika Panggung Syiar Justru Menjadi Cermin Ketidakpedulian

Salah seorang warga yang menyaksikan langsung peristiwa itu tak kuasa menahan amarah.

“Panitia tidak memanusiakan manusia! Ini bukan MTQ, ini pelecehan moral. Masa official dan peserta duduk di halaman mesjid yang kasar, sementara pejabat duduk di kursi empuk?” katanya geram.

Kejadian ini menjadi cermin getir bahwa seremoni keagamaan bisa kehilangan maknanya ketika empati tidak hadir dalam pelaksanaannya.
MTQ seharusnya menjadi ajang meneguhkan nilai-nilai Al-Qur’an, bukan menistakannya dengan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para penjaga tilawah.

Kini, publik menunggu bukan sekadar evaluasi di atas kertas, tapi pertanggungjawaban moral: agar MTQ berikutnya tak lagi menjadi panggung kemegahan tanpa hati — karena yang layak dimuliakan bukan kursi pejabat, melainkan suara-suara suci yang membawa ayat Allah(d13)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *