Keberadaan Dubalang Kota Padang awalnya dimaksudkan sebagai bagian dari sistem keamanan di tingkat kelurahan. Sebagai perpanjangan tangan Satpol PP untuk membantu menciptakan ketertiban.
Mereka digaji dari APBD, diberi seragam, diberi mandat, dan diberi ruang untuk menjalankan tugas. Harapannya jelas: hadir sebagai penjaga keamanan, bukan sumber keresahan.
Namun ironi, hari ini justru terasa semakin mengemuka. Alih-alih sebagai pengayom, sebagian dari mereka kini mulai bertingkah layaknya kelompok preman yang diberi seragam.
Ini bukan tuduhan tanpa dasar, setidaknya persepsi publik dibentuk oleh serangkaian tindakan represif yang beberapa kali terjadi di lapangan.
Dubalang kota kerap melakukan tindakan kekerasan terhadap warga, padahal mereka bukan aparat penegak hukum penuh, dan kewenangannya sangat terbatas.
Ketika individu berbaju resmi mulai memukul, menendang, apalagi mengeroyok, maka hilanglah batas antara penegakan aturan dan penyalahgunaan wewenang. Yang tersisa hanya ketakutan dan rasa tidak aman.
Kasus terbaru yang mencuat adalah peristiwa dugaan pengeroyokan terhadap seorang pemilik kafe di kawasan By Pass.
Terlepas dari apa pun alasan atau pemicu kejadian itu, tindakan brutal bukanlah solusi, dan tidak bisa dibenarkan dalam konteks apa pun.
Dubalang bukan penentu hukum, bukan hakim jalanan, bukan eksekutor lapangan yang boleh main tangan hanya karena merasa berkuasa.
Ketika kekerasan dipilih sebagai bahasa komunikasi, maka mereka tidak lagi terlihat sebagai petugas keamanan, melainkan sekadar preman yang dibekali seragam dan anggaran negara.
Pertanyaannya: di mana evaluasi? Di mana pengawasan? Ketika kesewenang-wenangan mulai terjadi berulang, maka persoalan tidak lagi berhenti pada pelaku individu, melainkan mengarah pada sistem yang membiarkan hal itu berjalan.
Pemko Padang, Satpol PP, dan pihak terkait wajib mengevaluasi secara menyeluruh pola kerja Dubalang Kota, termasuk pelatihan, batas wewenang, mekanisme sanksi, hingga struktural komando.
Tanpa itu, apa bedanya mereka dengan kelompok liar yang hanya beroperasi bermodalkan power dan otot?
Masyarakat berhak merasa aman di hadapan aparatur yang dibiayai oleh uang pajaknya. Bukan hidup dalam ketakutan.
Jika Dubalang Kota ingin tetap dipercaya, yang pertama mereka harus lakukan adalah menanggalkan mentalitas premanisme, bukan memupuknya.
Seragam tidak otomatis membuat seseorang berwibawa, integritas dan etika lah yang menjadikannya layak dihormati.
Sebab bila tidak ada pembenahan, maka opini publik akan tetap sama: Dubalang Kota bukan lagi simbol keamanan, melainkan citra buruk dari kekuasaan yang salah tempat. Dan itu jauh dari tujuan awal keberadaan mereka.












