Oleh : St.Syahril Amga, SH, MH
Setiap manusia tahu akan sesuatu. Rasanya tidak mungkin untuk dibantah. Setidaknya ia tahu tentang dunia sekitarnya. Tahu akan diri sendiri.
Begitu dikatakan wartawan senior St. Syahril Amga, S.H, M.H. dalam kesem patan bincang-bincang dengan relasipublik.com di pelataran parkir gedung Dekranasda Batusangkar pada Kamis (29-6/2025)
Tahu dengan orang lain, tahu yang baik dan tahu yang buruk, tahu dengan yang indah yang jelek/buruk. Kedengarannya memang sederhana, namun banyak juga mengandung kesulitan, jika sekiranya orang menanyakan bagaimana manusia dapat tahu.
Apa sumbernya, apa sebenarnya tahu itu, tentu tidak dapat segera dijawab pertanyaan tersebut. Untuk menjawab dalam menemukan apa yang tampak itu, tahu. Sebab pada suatu ketika manusia ingin tahu terutama yang belum diketahuinya. Kata anggota perhimpunan advokat lndonesia (Peradi) itu, memaparkan isi hati dengan sederhana memakai bahasa. Tetapi bagaimanapun sesederhananya, segera pula melahirkan pertanyaan. Apa itu, apa ini, kenapa begini serta mengapa demikian. Itu pertanyaan atas ingin tahu, kata pendiri PWI T.Datar itu.
Pertanyaan itu bisa saja dilontarkan, diantaranya karena kagum. Bisa juga karena tidak mengerti akan hal sekitarnya. Oleh sebab itu ia bertanya untuk memuaskan keingin tahuanya.
Menurut Ketua Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) itu. Bila seseorang merasa terpenuhi keinginannya maka untuk sementara puaslah ia. Karena yang mengelilinginya manusia banyak macam ragam pendapatnya. Sementara keinginan tahuan juga berlanjut untuk ingin tahu.
Sebab bisa saja atas kekagumannya atau keingin tahuannya yang tidak habis-habisnya. Oleh sebab itu secara terus me nerus bertanya. Ada yang menjawab sendiri pertanyaan itu dan ada yang tidak.
Malah makin lanjut umurnya kemungki nan untuk menyelidiki lebih banyak dan lebih mendalam. Dari hasil tahunya lebih banyak dari yang baru berumur setahun jagung. Yang memuaskan itu dalam ilmu adalah tahu yang benar, itu yang sesungguhnya memuaskan.
Menurut putra Ampalu Gurun itu, tahu yang tidak benar adalah tahu yang keliru. Sementara di dunia ini tidak seorangpun yang cinta akan kekeliruan. Sebab yang keliru itu lebih buruk dari pada tidak tahu.
Sebab tahu itu seringkali menjadi dasar atas suatu perbuatan dan tindakan. Justru itu tahu yang keliru jika dijadikan dasar untuk suatu perbuatan kerapkali tindakan itu keliru. Kekeliruan itu berpotensi besar menimbulkan malapetaka.
Tidak obahnya bagaikan seorang dokter yang memberikan obat yang keliru terha dap pesiennya. Perbuatan itu tidak tertu tup untuk menimbulkan maut. Justru itu yang sadar akan kekeliruannya maka le nyaplah kepuasannya.
Maka dari itu dapat disimpulkan, bahwa ingin tahu itu hanya kebenaran. Apa kebenaran itu. Karena itu janganlah puas sebelum tahu akan kebenaran. Namun apa kebenaran yang sesungguhnya. Dalam hal ini kita yakin bahwa kebenaran itu amat besar artinya bagi kehidupan manusia. Dari itu setiap manusia ingin tahu yang sebenar- benarnya “benar”. Karena tahu manusia itu bukanlah yang dibawanya dari sejak lahir.
Kenyataanya sebelum ia (manusia) dapat tahu ia kagum atas yang mengelilingi nya. Ada yang tidak kelihatan, manusia juga ingin tahu, tidak mustahil. Sebaliknya manusia juga ingin diketahui dan harus diakui bahwa ingin tahu itu akan habis jika tidak ada lagi manusia, ungkap koordinator pusat kajian informasi strategis (Pakis) Sumbar itu(d13)