Oleh: Kevin Philip
Padang,relasipublik – Dalam beberapa waktu terakhir, kritik tajam dilayangkan oleh Leon Agusta Indonesia (LAI) terhadap tiga program unggulan Wali Kota Padang Fadly Amran: BPJS Kesehatan Gratis, Beasiswa S1 ke Sampoerna University, dan pembentukan “Dubalang Kota”. Kritik tersebut menuding bahwa program-program itu lebih bernuansa pencitraan politik (gimmick) ketimbang kebijakan berbasis data. Namun jika kita menelaahnya lebih jernih, ketiga program tersebut justru mencerminkan keberanian politik, inovasi kebijakan, dan arah pembangunan inklusif yang patut diapresiasi.
*BPJS Gratis dan Prinsip Akses Universal*
Kritik bahwa kebijakan BPJS Gratis sebaiknya mendorong pasien ke RSUD agar meningkatkan pendapatan rumah sakit daerah tentu menarik, tetapi juga berbahaya jika diterapkan secara eksklusif. Program kesehatan bukan tentang mendongkrak angka okupansi rumah sakit, melainkan menjamin bahwa warga siapa pun dan di mana pun punya akses yang layak dan merdeka terhadap layanan kesehatan. Memaksa pasien miskin ke satu rumah sakit hanya demi efisiensi keuangan bisa mencederai prinsip patient-centered care.
Program BPJS Kesehatan Gratis di Padang justru mendorong prinsip subsidi langsung ke rakyat. Ini adalah bentuk keberpihakan yang tidak menunggu kesiapan birokrasi, tetapi menjawab kebutuhan riil masyarakat hari ini: akses cepat, fleksibel, dan bermartabat terhadap kesehatan.
Sejak diluncurkan pada 5 Maret 2025, Program BPJS Kesehatan Gratis telah memberikan layanan kepada 13.989 warga Kota Padang hingga akhir April 2025. Jumlah ini menunjukkan lonjakan signifikan, dari 3.032 penerima pada Maret menjadi 10.957 pada April. Data ini menjadi bukti kuat bahwa program ini bukan sekadar wacana, tetapi menjawab kebutuhan konkret masyarakat, terutama kelompok miskin dan rentan.
*Beasiswa Sampoerna: Investasi Aspiratif, Bukan Pemborosan*
Hanya enam pelajar Padang dikirim kuliah di Sampoerna University, dan ini dianggap tidak efisien oleh LAI. Tapi mari kita lihat dari sisi lain: kebijakan ini adalah sinyal politik yang sangat kuat. Sinyal bahwa anak Padang layak menempuh pendidikan berkelas dunia, bahwa mimpi besar harus difasilitasi negara, dan bahwa simbol kemajuan tak selamanya harus dalam bentuk massal.
Banyak program pelatihan LPDP dan kursus menulis esai yang gagal membangun ekosistem impian, justru karena tidak menyentuh aspek aspirasi dan keberanian bermimpi. Beasiswa ini adalah model flagship investment dalam kebijakan sosial: satu anak sukses, satu keluarga berubah, satu kampung terinspirasi.
Beasiswa ini tidak hanya tentang angka, tetapi tentang harapan yang dibentuk. Dalam logika kebijakan publik, ada saat di mana investasi pada segelintir individu unggul bisa menciptakan efek bola salju dalam komunitas. Ini bukan pemborosan, melainkan strategi inspiratif yang membuka ruang bagi kemajuan yang lebih luas.
*Dubalang Kota: Adat sebagai Modal Sosial Baru*
Kritik yang paling menarik adalah terhadap program Dubalang Kota. LAI menilai istilah ini memiskinkan makna adat Minangkabau. Padahal, inovasi sosial selalu memerlukan simbol. “Dubalang” dalam konteks ini bukan sekadar nama, tetapi bentuk cultural adaptation yang menghidupkan kembali semangat kamanakan menjaga kampungnya.
Program ini juga bukan semata pengamanan. Ia adalah upaya membangun kehadiran negara di ruang-ruang sosial dengan wajah komunitarian. Ketika tawuran pelajar dan balap liar meningkat, pendekatan koersif semata tidak efektif. Dubalang Kota adalah bentuk hibrida antara negara dan budaya lokal, solusi kontekstual yang jauh lebih tepat ketimbang pendekatan aparatistik murni.
Dalam perspektif kebijakan publik berbasis komunitas, program ini menunjukkan keberanian untuk menggali kearifan lokal dan menjadikannya bagian dari solusi sosial kontemporer. Alih-alih memiskinkan makna adat, ia justru memperluas relevansinya dalam konteks urban yang terus berubah.
*Gimmick atau Kebijakan? Lihat dari Dampaknya*
Menilai kebijakan publik tidak cukup dari skema idealnya, tetapi juga dari keberanian politik, daya jangkau, dan efek simboliknya. Dalam tiga program ini, Fadly Amran menunjukkan bahwa kebijakan tidak harus menunggu semua sistem ideal bekerja sempurna. Ia memilih untuk memulai, berinovasi, dan memberi pesan kuat bahwa pemerintah hadir—bukan sekadar dalam angka, tetapi dalam harapan.
Jika program ini kemudian dikritik karena belum berbasis data yang matang atau belum dievaluasi penuh, justru di situlah tantangan kita sebagai akademisi dan masyarakat sipil. Bukan untuk menolak, tapi mengawal, memperbaiki, dan memastikan dampaknya berkelanjutan.
Sebab kadang, perubahan besar dimulai dari satu langkah yang tampak kecil dan ya, kadang dianggap sebagai gimmick sebelum akhirnya menjadi gerakan.
*Catatan:*
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai pembelaan buta terhadap kekuasaan, tetapi sebagai pandangan alternatif terhadap logika kebijakan publik yang progresif. Dalam dinamika demokrasi lokal yang sehat, perbedaan pandangan bukanlah titik akhir, tetapi pintu menuju perbaikan.