BeritaNasional

Rahmat Saleh Soroti Undang-Undang Cipta Kerja Cabut Syarat Penting Terkait Perlindungan Hutan

5
×

Rahmat Saleh Soroti Undang-Undang Cipta Kerja Cabut Syarat Penting Terkait Perlindungan Hutan

Sebarkan artikel ini

Jakarta,relasipublik – Kritik Rahmat Saleh terhadap regulasi kehutanan kembali mengemuka setelah ia menilai sejumlah aturan yang berlaku telah melemahkan kemampuan negara mengendalikan pembalakan hutan dan aktivitas ilegal di kawasan konservasi.

Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Kementerian Kehutanan di Gedung Senayan, Jakarta, Kamis (4/12/2025), ia menilai berbagai ketentuan yang diterapkan justru mengurangi kontrol negara terhadap pengelolaan kawasan hutan.

Menurutnya, sejumlah perubahan kebijakan membuat pemerintah kehilangan posisi strategis dalam memastikan perlindungan ekologis berjalan efektif.

Rahmat secara khusus menyoroti Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilainya mencabut syarat penting terkait perlindungan hutan, termasuk ketentuan minimal 30 persen tutupan hutan di daerah aliran sungai (DAS).

Dia menegaskan hilangnya ketentuan tersebut menyulitkan pemerintah mengendalikan aktivitas pembalakan yang pada akhirnya meningkatkan risiko banjir dan longsor.

“Salah satu hal yang dicabut adalah kewajiban 30 persen hutan di daerah aliran sungai. Ketentuan itu dicabut dalam pasal terkait, sehingga kita tidak bisa mengontrolnya,” ujarnya.

Rahmat menilai pemerintah perlu mengambil langkah berani untuk melakukan evaluasi terhadap regulasi tersebut, terutama pada bagian yang melemahkan fungsi pengawasan kehutanan.

Dia menyebut evaluasi harus dibahas kembali pada tingkat kementerian serta forum lintas sektoral.

“Mungkin Kementerian Kehutanan bisa menyampaikan dalam rapat-rapat Menko apakah UU Cipta Kerja ini perlu dievaluasi,” katanya.

Rahmat juga menyinggung laju deforestasi dan pembukaan lahan dalam skala besar tidak dapat dilepaskan dari perubahan regulasi yang lebih longgar dibandingkan sebelumnya.

Dia mengingatkan selama hampir sepuluh tahun terakhir, sekitar 1,4 juta hektare lahan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas perusahaan pemegang izin.

Menurutnya, skala tersebut menggambarkan lemahnya kontrol negara. “Ini angka yang besar,” tegasnya.

Rahmat mengaitkan lemahnya pengendalian hutan dengan peningkatan nilai produksi serta ekspor industri kehutanan.

Dia menyebut adanya lima perusahaan besar di Sumatera Barat yang produksinya mengalami peningkatan setiap bulan.

Menurutnya, tren tersebut menunjukkan pemanfaatan hasil hutan yang masih berlangsung sangat intensif.

“Data nanti akan kami berikan, tidak perlu disebutkan nama PT-nya. Tetapi menurut kami ini juga menyumbang besar terhadap bencana banjir,” katanya.

Dia mengingatkan bencana yang melanda Sumatera dalam beberapa waktu terakhir tidak berdiri sendiri. Kerusakan ekologis, lemahnya pengawasan, dan relaksasi aturan menurutnya saling berkelindan memperburuk dampak bencana.

Rahmat menyayangkan apabila kementerian menyampaikan narasi yang menafikan hubungan antara deforestasi dan banjir. Dalam kondisi ratusan warga meninggal dan ratusan lainnya belum ditemukan, ia menilai pemerintah perlu melihat akar masalah secara jujur.

“Jangan sampai pejabat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hati masyarakat,” ujarnya.

Rahmat menegaskan evaluasi regulasi tidak semata langkah administratif, tetapi bagian dari upaya mengembalikan kontrol negara terhadap kawasan hutan.

Dia berharap pemerintah bersedia meninjau ulang ketentuan dalam UU Cipta Kerja, terutama pasal-pasal yang mengurangi ruang pengawasan serta penegakan hukum.

“Ini momentum bagi kita untuk mengoreksi kebijakan yang tidak berpihak pada perlindungan hutan dan keselamatan masyarakat,” ucapnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *