Opini

Refleksi Sumpah Pemuda: Keterbukaan Informasi Jalan Menuju Indonesia Emas

23
×

Refleksi Sumpah Pemuda: Keterbukaan Informasi Jalan Menuju Indonesia Emas

Sebarkan artikel ini

Oleh : Musfi Yendra
Ketua Komisi Informasi Sumatera Barat

Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia kembali melihat ke belakang, mengingat sebuah momentum bersejarah: Sumpah Pemuda 1928. Sebuah tonggak penting lahirnya kesadaran kolektif anak muda Nusantara untuk menanggalkan sekat kedaerahan dan berdiri bersama dalam satu tekad: bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan, Indonesia.

Namun bila ditilik lebih dalam, semangat Sumpah Pemuda bukan hanya tentang kesatuan dan nasionalisme, melainkan juga tentang keterbukaan informasi— tentang bagaimana para pemuda di masa itu mengakses, berbagi, dan mengelola pengetahuan demi membangun kesadaran kebangsaan.

Pada masa sebelum kemerdekaan, keterbukaan informasi bukanlah hal mudah. Akses terhadap pengetahuan dibatasi oleh penjajah. Namun keterbatasan justru melahirkan kreativitas. Para pemuda pergerakan, seperti anggota Jong Java, Jong Sumatera, dan Jong Ambon, menjadikan organisasi kepemudaan sebagai pusat pertukaran informasi.

Diskusi-diskusi kecil di asrama, surat kabar lokal, serta pertemuan lintas daerah menjadi ruang terbuka untuk bertukar ide tentang nasib bangsa. Dalam konteks itu, keterbukaan informasi tampil sebagai bentuk perlawanan intelektual. Mereka menyadari, pengetahuan yang tersebar luas akan menyalakan kesadaran kolektif dan menjadi bahan bakar perjuangan.

Bila kita membaca kembali sejarah, lahirnya Sumpah Pemuda juga tidak lepas dari kebebasan informasi antarorganisasi. Kongres Pemuda II pada 1928 hanya mungkin terlaksana karena adanya komunikasi terbuka di antara berbagai kelompok pemuda dari daerah yang berbeda.

Mereka saling berbagi gagasan tanpa sekat, mengirim surat, dan menyebarkan ide melalui media massa yang masih sederhana. Di sinilah nilai fundamental keterbukaan informasi dalam sejarah kepemudaan Indonesia: keterbukaan melahirkan persatuan, dan persatuan melahirkan kekuatan perubahan.

Hari ini 28 Oktober 2025, sembilan puluh tujuh tahun kemudian, tantangan generasi muda Indonesia tentu berbeda. Kita hidup di era digital dengan arus informasi yang deras, dimana keterbukaan bukan lagi sekadar cita-cita, melainkan realitas yang menuntut tanggung jawab.

Dalam konteks sekarang, keterbukaan informasi publik telah diatur secara hukum melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Regulasi ini menjadi tonggak penting dalam demokrasi modern Indonesia, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak tahu, mengawasi, dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Namun, pertanyaannya: sudahkah semangat keterbukaan ini hidup di tubuh organisasi kepemudaan masa kini?

Banyak organisasi pemuda masih tertutup dalam hal pengelolaan informasi, baik tentang kegiatan, pendanaan, maupun arah gerakan mereka. Padahal, dalam era keterbukaan, transparansi adalah fondasi kepercayaan publik. Pemuda sebagai agen perubahan seharusnya menjadi contoh bagaimana organisasi dikelola secara terbuka dan akuntabel.

Di sinilah makna Sumpah Pemuda menemukan relevansinya kembali: jika dulu mereka bersatu melalui informasi yang terbuka, kini keterbukaan informasi harus menjadi roh gerakan pemuda dalam menghadapi tantangan sosial, ekonomi, dan politik bangsa.

Implementasi keterbukaan informasi di kalangan pemuda juga menjadi instrumen penting menuju Indonesia Emas 2045. Indonesia tengah menapaki jalan menuju satu abad kemerdekaan dengan cita-cita menjadi negara maju dan berdaya saing global. Visi besar itu hanya akan tercapai bila generasi mudanya memiliki integritas, transparansi, dan kemampuan mengelola informasi secara bijak.

Pemuda harus menjadi penjaga ruang publik digital agar tidak dipenuhi hoaks, ujaran kebencian, atau manipulasi data. Dalam hal ini, literasi informasi menjadi kunci: bukan hanya mampu mencari dan menyebarkan informasi, tetapi juga menilai, memverifikasi, dan menggunakan informasi untuk kemajuan bangsa.

Keterbukaan informasi juga berperan sebagai sarana penguatan partisipasi generasi muda dalam pembangunan. Melalui akses yang luas terhadap data publik—baik dari pemerintah, dunia usaha, maupun lembaga masyarakat—pemuda dapat terlibat dalam inovasi kebijakan, pengawasan publik, dan pengembangan ekonomi kreatif.

Transparansi membuka peluang kolaborasi lintas sektor, memperkuat jejaring sosial, dan mempercepat lahirnya solusi inovatif terhadap masalah bangsa, mulai dari kemiskinan, pendidikan, hingga perubahan iklim.

Di era pemerintahan Prabowo–Gibran, keterbukaan informasi bahkan menjadi bagian dari misi besar Asta Cita, yakni membangun pemerintahan yang efisien, bersih, dan transparan. Dalam konteks ini, pemuda dituntut bukan hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga produsen pengetahuan yang jujur dan bertanggung jawab.

Mereka harus berani membuka ruang dialog, menolak manipulasi informasi, dan menghidupkan kembali semangat kolaborasi sebagaimana dicontohkan para pendahulu di tahun 1928.

Sumpah Pemuda 2025 hendaknya menjadi refleksi moral sekaligus momentum aktualisasi nilai keterbukaan. Bahwa kemajuan tidak akan datang dari semboyan semata, melainkan dari praktik keterbukaan yang nyata—baik di organisasi, pemerintahan, maupun dalam kehidupan sosial.

Di tangan pemuda yang berintegritas dan terbuka, Indonesia akan memiliki generasi yang bukan hanya bangga menjadi bagian dari bangsa besar, tetapi juga berani memastikan bangsanya maju melalui transparansi, partisipasi, dan kolaborasi.

Dengan semangat itu, peringatan Sumpah Pemuda tahun ini bukan hanya perayaan sejarah, melainkan panggilan untuk memperbaharui komitmen terhadap keterbukaan sebagai jalan menuju Indonesia Emas 2045.

Sebab, sebagaimana para pemuda 1928 membangun bangsa lewat keterbukaan informasi di masa perjuangan, maka generasi muda hari ini harus membangun masa depan dengan prinsip yang sama— hanya saja dengan alat yang lebih modern, lebih cepat, dan lebih bertanggung jawab.

Itulah cara paling konkret menghormati Sumpah Pemuda: menjaga agar informasi tetap menjadi cahaya yang menuntun bangsa menuju kemerdekaan yang sejati— kemerdekaan dalam berpikir, berbicara, dan berbuat untuk kebaikan bersama. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *