Opini

Sawah Pokok Murah: Ketika Inovasi Lapangan Memprovokasi Kita

18
×

Sawah Pokok Murah: Ketika Inovasi Lapangan Memprovokasi Kita

Sebarkan artikel ini

Oleh: Munzir Busniah

Dosen Faperta UNAND

Sumbar,relasipublik – Bisakah petani menanam padi tanpa bajak, tanpa pupuk mahal, dan tetap panen melimpah? Sawah Pokok Murah (SPM) menjawab: bisa. Inovasi lokal ini bukan sekadar teknik bertani, tapi provokasi intelektual yang menantang dogma lama dan membuka jalan baru menuju pertanian murah, mandiri, dan lestari.

SPM mengajak kita berpikir ulang: apakah efisiensi dan keberlanjutan bisa tercapai tanpa ketergantungan pada input luar? Apakah kearifan lokal bisa menjadi jawaban atas krisis pangan dan ekologi? Di balik praktik yang tampak sederhana, SPM menyimpan kekuatan untuk mengubah arah pertanian kita—dengan biaya murah, hasil tetap baik, lingkungan terjaga serta semangat kemandirian.

SPM adalah inovasi pertanian yang sedang berkembang pesat di Sumatra Barat. SPM digagas oleh Ir. Djoni, seorang praktisi pertanian lokal, sebagai solusi untuk meningkatkan hasil panen dengan biaya yang lebih rendah dan ramah lingkungan. Ibu Titiek Soeharto pun telah hadir di Sumatra Barat, Sabtu 21 Juni 2025, untuk melakukan panen raya padi SPM.

Tulisan ini mengupas, apa ituSPM, dimana murahnya SPM. Tidak hanya murah tetapi dapat pula mempertahankan produktifitas lahan dan memperbaiki lingkungan.

*Apa Itu SPM?*

Teknik budidaya SPM, yaitu: 1) tidak melakukan pengolahan tanah, 2) sawah tidak digenangi tetapi dijaga pada kondisi lembab, 3) jerami tidak dibakar tetapi digunakan sebagai mulsa, 4) benih ditanam umur muda (12-14 hari), satu batang per lobang, dan ditanam lebih dangkal, 5) penggunaan pupuk buatan dikurangi, 6) dibangun saluran air (selebar mata cangkul, sedalam 20 cm, jarak antar saluran 125 cm).

Teknik budidaya sawah konvensional yaitu: 1) sawah dibajak, dua kali, 2) digenangi, 3) diberi pupuk buatan (Urea, SP-36 dan KCl), 4) benih ditanam umur 15-20 hari, 2-3 batang per lobang. Terlihat perbedaan antara SPM dan konvensional.

*Dimana “Murah”-nya?*

Dimana murahnya SPM dibandingkan dengan konvensional? Yaitu dalam hal pembajakan, penggunaan pupuk buatan, pemanfaatan jerami dan pemakaian benih.

Biaya pembajakan pada budidaya konvensional Rp. 2.200.000 per hektar. Meskipun SPM tanpa dibajak, namun SPM butuh biaya untuk pemotongan tunggul padi, penyebaran mulsa jerami, dan pembuatan saluran air. Biaya untuk semua kegiatan tersebut Rp. 1.100.000. Jadi untuk menyiapkan lahan ada penghematan 50 persen pada SPM.
Biaya benih Rp. 400.000 per hektar. Biaya benih dapat dinyatakan hampir sama antara SPM dengan konvensional. Meskipun biayanya sedikit lebih murah pada SPM karena penggunaan benih bisa lebih sedikit.

Biaya pupuk buatan (Urea, SP-36 dan KCL) per hektar pada budidaya konvensional Rp. 2.500.000. Apabila pada SPM hanya digunakan 40 persen dari rekomendasi pada budidaya konvensional, maka ada penghematan biaya pupuk pada SPM sebesar Rp. 1.500.000.

Dengan memperhatikan ketiga komponen biaya tersebut (pembajakan, benih dan pemupukan) maka ada penghematan sebesar lebih kurang 50 persen pada SPM dibanding konvensional. Penghematan tersebut bukanlah hanya sekadar angka, tetapi harapan baru bagi petani kecil.

*Apakah Produksi Menurun?*

Dengan perubahan cara bercocok tanam pada SPM (tanpa dibajak, pengurangan penggunaan pupuk buatan, dan banyak saluran air), apakah tidak menurunkan produksi?

Budidaya tanaman Tanpa Olah Tanah (TOT) atau minimum tillage telah banyak direkomendasikan pada berbagai sistem budidaya. Demikian pula pada SPM, tanpa dibajak tidak menurunkan produksi. Kajian yang dibutuhkan adalah sampai musim tanam keberapa tanah tersebut tidak perlu dibajak.
Apakah banyaknya saluran air pada SPM menurunkan jumlah rumpun? Tidak. Banyaknya saluran air bisa diatasi dengan mengatur jarak tanam sehingga jumlah rumpun per hektar pada SPM tidak berkurang. Seperti yang berlaku pada sistem tanam Jajar Legowo. Pada Jajar Lewogo meskipun juga ada banyak saluran air, tetapi dengan mengatur jarak tanam, maka jumlah rumpun per hektar tidak berkurang.

Apakah pengurangan pupuk buatan pada SPM menurunkan produksi? Tidak. Dari hasil demplot lapangan, SPM tanpa dipupuk pun tidak menurunkan produksi. Bagaimana bisa terjadi. Mungkin tanah sawah telah jenuh unsur hara, sehingga tanpa dipupuk pun hasilnya masih tetap tinggi. Meskipun varitas unggul cenderung rakus unsur hara. Tentu fenomena ini perlu kajian lanjutan.

Disamping itu, pemberian jerami pada SPM memberikan nilai positif. Nilai positifnya yaitu: 1) jerami mengandung nutrisi alami yang akan kembali ke tanah saat terurai, 2) membantu menetralkan keasaman tanah dan memperbaiki struktur tanah, 3) menekan pertumbuhan gulma, 4) meningkatkan aktivitas mikroorganisme, dan 5) menjaga kelembaban tanah dan mengurangi resiko kekeringan, terutama pada sawah beririgasi kurang baik.

*Manfaat Lingkungan dan Sosial*

SPM juga memberikan nilai positif dari aspek lingkungan. Seperti tidak membakar jerami menciptakan udara bersih. Penggunaan jerami sebagai mulsa memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme. SPM memanfaatkan sumberdaya lokal yang tidak termanfaatkan, yaitu jerami yang biasanya hanya dibakar.

*SPM Sebagai Provokasi Intelektual*

Tentu SPM masih menyisakan berbagai pertanyaan yang membutuhkan kajian lanjutan. Antara lain yaitu: 1) seberapa lama sawah tidak dibajak tidak mempengaruhi produksi, 2) seberapa lama dan seberapa besar pemupukan dapat dikurangi, 3) apakah jerami dapat mencukupi untuk dijadikan mulsa.
SPM bukan metode biasa. Ia menggugat cara lama dan mengajak kita berpikir ulang tentang bertani. Selamat kepada SPM yang telah membangkitkan perhatian kita untuk bersawah, terhadap petani, pemanfaatan sumberdaya lokal, serta menjaga ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan. (analisa)

Noted: Artikel ini telah terbit di Harian Haluan Jumat 15 Agustus 2025.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *