Opini

Sengketa Informasi Publik: Antara Transparasi dan Privasi

27
×

Sengketa Informasi Publik: Antara Transparasi dan Privasi

Sebarkan artikel ini

Penulis: Ariza Aprilia Fitri – Mahasiswa Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas. Mahasiswa magang di Komisi Informasi Sumatera Barat

Padang,relasipublik – Komisi Informasi memiliki peran dalam memastikan keterbukaan informasi publik di Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik (UU KIP), lembaga ini berwenang menyelesaikan sengketa informasi antara badan publik dan masyarakat melalui mediasi atau ajudikasi nonlitigasi. Namun, di tengah dorongan untuk transparansi, muncul tantangan besar bagaimana memastikan keterbukaan informasi tidak berbenturan dengan hak privasi individu atau lembaga.

Hak atas informasi merupakan salah satu hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Namun, hak ini tidak bersifat mutlak. Dalam Pasal 17 UU KIP, terdapat beberapa kategori informasi yang dapat membahayakan kepentingan negara, mengganggu proses penegakan hukum atau mengancam hak privasi sesesorang.

Sengketa informasi seringkali muncul ketika badan publik menolak memberikan informasi dengan alasan tertentu, sementara pemohon informasi merasa bahwa informasi tersebut seharusnya terbuka untuk publik. Transparansi dan privasi sering kali berada dalam situasi yang membingungkan. Dalam beberapa kasus, keterbukaan informasi sangat diperlukan untuk kepentingan publik, tapi disisi lain, ada informasi yang harus tetap dirahasiakan untuk melindungi individu atau lembaga. Misalnya, data kesehatan seseorang tidak bisa begitu saja diungkapkan ke publik, meskipun ada kepentingan untuk memahami tren penyakit di masyarakat.

Dalam menyelesaikan sengketa informasi, Komisi Informasi harus mampu menyeimbangkan dua kepentingan tersebut. Sebagai contoh, dalam kasus informasi mengenai harta kekayaan pejabat negara, masyarakat memiliki hak untuk mengetahui sebagai bentuk pengawasan terhadap potensi korupsi. Namun, di sisi lain, ada batasan terkait informasi yang bersifat pribadi, seperti alamat rumah, atau data keluarga pejabat, yang dapat mengancam keamanan pribadi jika disebarluaskan.

Selain itu, tantangan dalam penyelesaian sengketa informasi juga terkait dengan pemahaman yang berbeda antara badan publik dan masyarakat mengenai batasan keterbukaan informasi.
Tidak jarang badan publik menafsirkan pengecualian informasi secara berlebihan, sehingga menutup akses terhadap data yang sebenarnya berhak diketahui oleh publik. Sebaliknya, ada pula pihak yang menuntut keterbukaan informasi tanpa mempertimbangkan aspek privasi atau kerahasiaan negara.

Dalam konteks birokrasi, terdapat penyimpangan yang sering menjadi penghambat keterbukaan informasi. Beberapa instansi pemerintah cenderung lamban dalam merespons permintaan informasi, bahkan ada yang mengabaikan kewajiban mereka sesuai UU KIP. Kondisi ini menambah panjang daftar sengketa informasi yang harus diselesaikan oleh Komisi Informasi.
Penyimpangan birokrasi bukan hanya disebabkan oleh lemahnya sistem, tetapi juga karena masih rendahnya kesadaran akan pentingnya keterbukaan informasi.

Banyak pejabat publik yang menganggap keterbukaan sebagai ancaman, bukan sebagai instrumen penguatan demokrasi. Pola pikir ini perlu diubah agar birokrasi semakin akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Komisi Informasi harus semakin memperkuat perannya sebagai mediator yang adil dan independen dalam sengketa informasi. Putusan yang dihasilkan harus mempertimbangkan aspek hukum, kepentingan publik, serta perlindungan hak individu. Selain itu, sosialisasi terkait keterbukaan informasi dan batasannya juga harus lebih kuat, baik kepada badan publik maupun masyarakat, agar pemahaman mengenai hak dan kewajiban dalam akses informasi semakin meningkat.

Tidak hanya badan publik, masyarakat juga perlu memiliki pemahaman yang baik tentang keterbukaan informasi. Terkadang, ada anggapan bahwa semua informasi yang dimiliki pemerintah harus dibuka ke publik, tanpa memahami bahwa ada informasi yang memang harus dirahasiakan. Oleh karena itu, literasi informasi harus terus diperkuat agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung pada sengketa.

Saat ini, revisi UU KIP tengah dibahas untuk memperjelas batasan keterbukaan informasi serta memperkuat peran Komisi Informasi dalam penyelesaian sengketa. Pemerintah diharapkan dapat mendukung upaya ini agar keterbukaan informasi tetap berjalan seiring dengan perlindungan hak privasi. Dengan demikian, transparansi dapat terwujud tanpa mengorbankan hak-hak individu dan keamanan negara.

Komisi Informasi juga perlu beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital. Di era digital, informasi tersebar dengan cepat, dan potensi kebocoran data semakin tinggi. Oleh karena itu, sistem perlindungan data harus diperkuat agar keterbukaan informasi tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu yang dapat merugikan individu atau institusi.

Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia di Komisi Informasi juga menjadi faktor kunci dalam penyelesaian sengketa informasi. Komisioner Komisi Informasi harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hukum, administrasi publik, serta teknologi informasi agar dapat menangani kasus dengan lebih efektif.

Kerja sama dengan berbagai pihak juga perlu ditingkatkan. Komisi Informasi harus bersinergi dengan lembaga pemerintah lainnya, organisasi masyarakat sipil, serta akademisi dalam memperkuat implementasi keterbukaan informasi. Dengan demikian, keterbukaan informasi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Peran aktif masyarakat dalam mengawal keterbukaan informasi juga menjadi elemen penting dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Masyarakat harus lebih proaktif dalam memanfaatkan hak akses informasi dan mengawal implementasi UU KIP agar tidak terjadi penyimpangan dalam penerapannya. Pada akhirnya, keterbukaan informasi merupakan instrumen penting dalam membangun pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Namun, transparansi harus diimbangi dengan perlindungan terhadap hak-hak individu, terutama dalam menjaga privasi dan keamanan data. Komisi Informasi memiliki peran strategis dalam menegakkan keseimbangan ini.

Di era digital yang semakin kompleks, tantangan keterbukaan informasi akan terus berkembang. Dengan kebijakan yang tepat dan kesadaran yang meningkat di semua pihak, keterbukaan informasi dapat menjadi alat yang efektif dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan tetap menghormati hak privasi setiap individu. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *