Oleh: Salsabilla Wanda, Muhammad Aidil Ar Rasyid, Lysandra Virgie Hutagalung, Sri Adilla, dan Anggitta Nashwa Nurillah Lubis*
Di era globalisasi yang serba cepat dan digital, Bahasa Indonesia menghadapi tantangan berat. Bukan lagi mengenai ancaman dari kolonialisme fisik seperti masa lalu, melainkan invasi halus dari budaya global yang menyusup melalui media sosial, konten digital, dan gaya hidup modern mahasiswa.
Penelitian yang kami lakukan terhadap 51 mahasiswa lintas fakultas di Universitas Andalas mengungkap bahwa meskipun mereka merasa bangga terhadap Bahasa Indonesia, kebiasaan sehari-hari di ruang digital justru memperlihatkan dominasi penggunaan bahasa asing, singkatan, emoji, serta bahasa gaul. Banyak dari mereka merasa lebih nyaman dan “keren” saat menggunakan campuran Bahasa Indonesia dan Inggris di media sosial, karena dinilai lebih sesuai dengan tren global dan gaya komunikasi generasi muda.
Kenyataan ini menciptakan ruang yang disebut sebagai hybridisasi bahasa, di mana penggunaan Bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa asing dan unsur visual. Dalam konteks digital, mahasiswa menganggap ini sebagai bentuk ekspresi diri yang lebih praktis dan modern. Mereka tidak menolak Bahasa Indonesia, tetapi merasa bahasa baku seringkali terlalu formal, panjang, dan tidak cocok untuk komunikasi cepat yang lazim di media sosial.
Namun, di balik pola komunikasi yang campur-aduk ini, muncul kesadaran yang kuat bahwa Bahasa Indonesia tetap penting sebagai simbol identitas dan nasionalisme. Sebagian besar mahasiswa menyatakan pentingnya menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama di ruang publik digital. Mereka mengakui bahwa menjaga bahasa adalah bagian dari menjaga jati diri bangsa.
Sayangnya, tantangan tidak hanya datang dari budaya global, tetapi juga dari dalam. Minimnya keteladanan dari dosen, institusi, hingga media, serta kurangnya edukasi kebahasaan yang kontekstual membuat Bahasa Indonesia kehilangan daya tarik di mata generasi muda. Ketika bahasa tidak tampil relevan dan menarik, mahasiswa memilih jalur yang lebih cepat, yaitu bahasa tren dan bahasa asing.
Untuk menjawab persoalan ini, mahasiswa mengusulkan berbagai solusi. Mulai dari kampanye #BanggaBerbahasaIndonesia di media sosial, lomba vlog dan konten kreatif dengan bahasa yang baik, pelatihan menulis dan menyunting, hingga kerja sama dengan Balai Bahasa untuk memperkuat literasi linguistik. Mereka juga menekankan pentingnya dosen sebagai teladan yang konsisten menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar di ruang akademik maupun publik.
Penggunaan istilah asing dalam komunikasi sehari-hari tidak selalu berarti kurang cinta tanah air. Namun, jika tidak disertai kesadaran dan kontrol, hal ini dapat mengikis kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia yang benar. Bahasa tidak boleh hanya hidup dalam dokumen resmi atau ruang kelas, tetapi harus menjadi bagian dari kehidupan digital sehari-hari.
Globalisasi memang tidak bisa dihentikan. Tapi generasi muda dapat memilih bagaimana cara beradaptasi dengan tetap memelihara identitas, termasuk lewat bahasa. Mahasiswa Universitas Andalas menolak untuk hanya menjadi konsumen budaya global. Mereka ingin tetap menjadi penggerak budaya bangsa, dimulai dari hal paling sederhana, yaitu menggunakan Bahasa Indonesia dengan bangga dan bijak di ruang digital.(***)
*Mahasiswa Universitas Andalas