TERBARU

Tidak Hanya Lewat Kotak Suara, Turun Ke Jalan Juga Bentuk Partisipasi Politik

18
×

Tidak Hanya Lewat Kotak Suara, Turun Ke Jalan Juga Bentuk Partisipasi Politik

Sebarkan artikel ini

Oleh :Khairul Syakban
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unand

Dalam pemaknaan proses demokrasi, partisipasi politik sering kali disederhanakan pemaknaannya pada sebatas kontestasi lima tahunan, mencoblos dalam pemilu. Namun, dalam sudut pandang sosiologi politik yang lebih luas partisipasi politik diartikan sebagai cerminan interaksi antara negara dan warganya, di mana warga tidak terbatas perannya sebagai objek yang diatur, melainkan juga memiliki hak dan kewenangan untuk aktif berusaha membentuk kebijakan yang berdampak pada hidup mereka. Karena jika pemaknaan partisipasi politik terbatas pada keterlibatan dalam pemcoblosan dibilik suara pada saat pemilihan umum, maka perlu diketahui bahwa proses pemilihan umum memiliki kerentanan terhadap kecurangan politik seperti politik uang. Kecurangan tersebut tentu akan menodai partisipasi politik itu sendiri karena adanya pengaruh mobilisasi dari pihak-pihak luar. Maka dari itu pencoblosan dibilik suara sering kali dikategorikan sebagai partisipasi politik paling rendah karena adanya kerentanan pengaruh dari luar pemilih itu sendiri.

Ikut serta mencoblos dalam Pemilu, memang penting, namun tidak benar jika mendefinisikannya sebagai puncak satu-satunya dari keterlibatan warga negara. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan juga didefinisikan sebagai keterlibatan aktif dalam proses penentuan arah dan strategi kebijakan, yang terutama berlangsung melalui proses politik dan sosial . Keterlibatan ini adalah fondasi dari kedaulatan rakyat. Tanpanya, ruang kekuasaan akan didominasi oleh elit, dan kebijakan yang dihasilkan berisiko menjauh dari kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu, partisipasi aktif dalam berbagai bentuknya berfungsi sebagai pengawasan terhadap kekuasaan, memastikan pemerintah bekerja untuk kemaslahatan bersama.

Sebagaimana ditegaskan dalam kajian sosiologi politik, partisipasi politik mencakup segala bentuk keterlibatan masyarakat dalam proses politik untuk mempengaruhi keputusan pemerintah dan kebijakan publik. Jangkauannya sangat luas, mulai dari aktivitas yang konvensional seperti berdiskusi tentang politik, mengikuti organisasi kemasyarakatan, dan menghadiri pertemuan publik, hingga yang non-konvensional seperti mengajukan petisi dan unjuk rasa .

Anggapan bahwa demonstrasi adalah tindakan anarkis atau pengacau keamanan seringkali dilekatkan untuk mendiskreditkan bentuk partisipasi ini. Padahal, dalam negara demokrasi, menyuarakan pendapat di muka umum adalah hak asasi yang dilindungi. Demonstrasi menjadi saluran partisipasi yang krusial justru ketika cara-cara legal dan prosedural dianggap sudah tidak mampu lagi memberikan ruang bagi suara masyarakat . Ketika platform ekspresi dibatasi dan ruang dialog menyempit, masyarakat yang sadar akan kedaulatannya akan mencari cara lain untuk didengar.

Sebagai contoh, aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dan organisasi seperti Cipayung Plus di Kota Padang menunjukkan bagaimana demonstrasi dapat dijalankan secara tertib dan damai tanpa kekerasan, hanya dengan orasi dan penyampaian tuntutan sebagai wujud nyata partisipasi politik . Aksi semacam ini bukanlah kekacauan, melainkan sebuah bentuk partisipasi yang terencana dan disengaja untuk meyakinkan semua pihak bahwa publik harus ikut serta dalam menentukan arah politik bangsanya.

Era digital semakin memperkuat relevansi partisipasi politik di luar bilik suara. Media sosial telah menjadi alat vital untuk menyebarkan informasi, mengorganisir gerakan, dan memobilisasi dukungan. Gerakan sosial yang viral, seperti Tuntutan Rakyat yang disebut dalam salah satu sumber, membuktikan bahwa teknologi dan kreativitas dapat menjadi senjata perlawanan yang efektif . Gerakan ini tidak hanya menyatukan suara dari berbagai kalangan tetapi juga berhasil menarik perhatian figur publik. Hal ini mematahkan stigma bahwa politik adalah dunia yang kotor dan harus dihindari. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa politik dapat diikuti dengan cara yang kreatif dan inklusif, memunculkan kesadaran kolektif untuk peduli dan terlibat.

Tentu saja, argumen ini tidak bermaksud menafikkan pentingnya pemilu. Pemilu tetaplah mekanisme fundamental untuk melakukan pergantian kepemimpinan secara damai, yang merupakan indikator kedewasaan berpolitik, sebagaimana tercermin dalam Pilkada Serentak 2024 yang berlangsung tenang dan damai . Namun, realitas juga menunjukkan keterbatasan pemilu. Tingkat partisipasi dalam Pilkada 2024 yang menurun, misalnya di DKI Jakarta dan Jawa Barat, mengindikasikan adanya kelelahan politik dan kemungkinan kekecewaan terhadap kandidat yang tidak sesuai harapan . Fenomena ini mempertegas bahwa partisipasi elektoral saja tidak cukup sehingga ruang-ruang kosong tersebut juga harus dibersamai dengan dilengkapinya dengan bentuk-bentuk partisipasi lain yang lebih langsung dan partisipatif sepanjang masa pemerintahan.

Dengan demikian, adalah keliru untuk memandang partisipasi politik dengan kacamata kuda yang hanya berfokus pada pemilu. Sosiologi politik mengajarkan bahwa partisipasi adalah sebuah kontinum yang mencakup berbagai aktivitas, dari yang paling damai dalam ruang diskusi hingga yang vokal di jalanan. Turun ke jalan adalah bentuk partisipasi politik yang sah dan seringkali necessary, terutama ketika saluran-saluran representatif lainnya mengalami kebuntuan. Ia adalah manifestasi dari kesadaran warga negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi. Untuk membangun demokrasi yang sehat dan resilien, kita perlu merayakan dan melindungi seluruh spektrum partisipasi politik ini, karena pada akhirnya, partisipasi yang hidup adalah napas dari kedaulatan rakyat itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *