Oleh : Zuliya Latifah Universitas Andalas
Pendahuluan
Koperasi merupakan pilar penting dalam pembangunan ekonomi kerakyatan di Indonesia. Sejak era reformasi, koperasi diposisikan sebagai instrumen untuk memperluas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekonomi lokal. Nilai-nilai koperasi yang menekankan partisipasi anggota, gotong royong, dan pemerataan manfaat sejalan dengan filosofi hidup masyarakat Minangkabau yang menonjolkan kebersamaan (salingka nagari).
Dalam konteks tersebut, pemerintah meluncurkan program Koperasi Merah Putih, sebuah inisiatif nasional yang diperkuat melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025 mengenai percepatan pembentukan koperasi desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Program ini dibiayai melalui APBN, APBD, dan dana desa (APBDes) serta difasilitasi melalui kerja sama dengan bank-bank milik negara seperti BRI, Mandiri, dan Bank Nagari. Tujuan utamanya adalah memperkuat ekonomi rakyat melalui pembentukan koperasi di setiap nagari/kelurahan, meningkatkan akses modal, serta membuka lapangan kerja lokal. Menteri Koperasi & UKM menyatakan bahwa “Koperasi Merah Putih adalah simbol kemandirian ekonomi rakyat berbasis desa” (Rakyat Sumbar, 2024).
Sumatera Barat menjadi salah satu provinsi yang cepat merespons program ini. Liputan6 (2024) melaporkan bahwa Sumbar telah mencapai 100% pembentukan koperasi Merah Putih secara administratif di seluruh nagari. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar koperasi belum berjalan optimal. Kendala seperti ketidaksiapan SDM, lemahnya pelaporan keuangan, kurangnya pemahaman pengurus, dan minimnya transparansi dana menjadi tantangan signifikan yang menghambat implementasi program.
Selain itu, kehadiran Koperasi Merah Putih menimbulkan dinamika baru di tengah keberadaan lembaga ekonomi lokal seperti BUMNag dan koperasi konvensional. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah Koperasi Merah Putih benar-benar memperkuat ekonomi lokal, atau justru menciptakan tumpang tindih kelembagaan?

Perbedaan mendasar antara Badan Usaha Milik Nagari (BUMNag), koperasi biasa, dan Koperasi Merah Putih (KMP) terletak pada landasan hukum, orientasi tujuan, struktur kepemilikan, serta mekanisme operasionalnya. BUMNag secara formal adalah badan usaha yang dimiliki dan dikendalikan oleh pemerintahan nagari dengan tujuan utama meningkatkan Pendapatan Asli Nagari (PAD Nagari) dan memanfaatkan potensi lokal secara kolektif. BUMNag lahir dari peraturan daerah dan peraturan nagari, sehingga orientasinya lebih dekat pada agenda pembangunan desa daripada pada partisipasi sosial anggota masyarakat secara langsung. Profil kelembagaan ini bersifat birokratis dan mengintegrasikan pengelolaan usaha dengan prioritas pembangunan desa yang ditetapkan pemerintahan lokal.
Sebaliknya, koperasi biasa adalah lembaga ekonomi berbasis anggota, yang tumbuh dari inisiatif masyarakat dengan prinsip solidaritas, demokrasi ekonomi, dan partisipasi aktif anggota dalam pengambilan keputusan. Koperasi beroperasi menurut Undang-Undang Perkoperasian, dan pengurus serta pengambilan keputusan ditentukan oleh anggota sendiri melalui mekanisme Rapat Anggota Tahunan yang demokratis. Lembaga ini secara internal lebih fleksibel dalam menentukan unit usaha dan orientasi bisnisnya, namun cenderung memiliki akses modal yang lebih terbatas dibanding BUMNag karena biasanya modalnya berasal dari simpanan anggota dan dukungan lembaga keuangan.
Koperasi Merah Putih (KMP) merupakan instrumen yang dirancang pemerintah pusat melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 untuk membentuk dan mengembangkan koperasi di seluruh desa/nagari sebagai pilar ekonomi kerakyatan baru. Tidak seperti koperasi biasa yang tumbuh murni dari masyarakat, KMP didukung dengan modal dari APBN, APBD, APBDes, dan akses pembiayaan bank negara yang relatif besar. Artinya, KMP memiliki landasan ganda: secara struktural mengikuti prinsip koperasi, tetapi secara fungsional didorong lewat kebijakan nasional yang kuat. Perbedaan ini menempatkan KMP pada posisi unik antara koperasi tradisional dan badan usaha pembangunan desa
Meski pembentukan koperasi Merah Putih di nagari telah mencapai 100% secara administratif, berbagai laporan ilmiah menunjukkan bahwa implementasinya di lapangan masih menghadapi tantangan serius. Beragam hambatan muncul terutama pada aspek SDM, tata kelola, tumpang tindih kelembagaan, serta dukungan infrastruktur.
- Ketidaksiapan Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia menjadi faktor kunci yang memengaruhi keberhasilan Koperasi Merah Putih di nagari. Minimnya pelatihan dan keterampilan teknis membuat banyak koperasi belum mampu mengelola unit usaha secara profesional. Hariyono dkk. (2024) menekankan bahwa koperasi desa yang tidak aktif umumnya memiliki “manajemen yang lemah, kurang pelatihan, dan kapasitas SDM yang tidak memadai dalam pengelolaan usaha” .Selain itu, koperasi di nagari sering mengalami masalah rangkap jabatan. Pengurus yang merangkap posisi di BUMNag atau perangkat nagari menyebabkan fokus kerja tidak maksimal. Rahmawati (2023) juga menunjukkan bahwa koordinasi antar lembaga ekonomi nagari cenderung buruk akibat keterbatasan SDM serta tumpang tindih peran antar pengurus, sehingga aktivitas ekonomi sulit berjalan optimal. Berdasarkan temuan Siswanto et al. (2025), banyak koperasi di pedesaan mengalami stagnasi karena “ketidaksiapan SDM menghadapi proses digitalisasi dan kompleksitas manajemen koperasi modern”.
- Transparansi dan Pengelolaan Dana
Pengelolaan dana koperasi yang bersumber dari APBN, APBD, dan APBDes membutuhkan tata kelola akuntabel. Namun, banyak Koperasi Merah Putih di nagari belum menerapkan sistem pembukuan digital atau SOP keuangan yang memadai. Antara Sumbar (2024) mencatat bahwa “sebagian besar koperasi belum memiliki laporan keuangan digital sehingga menyulitkan pengawasan dan akuntabilitas.” Penelitian Nurdany & Prajasari (2020) menunjukkan bahwa kelemahan digitalisasi koperasi menyebabkan rendahnya transparansi. Mereka menemukan bahwa “tanpa sistem keuangan digital, laporan tidak dapat diverifikasi, dan kepercayaan anggota melemah” . Indriastuti et al. (2025) juga menegaskan bahwa kepercayaan publik terhadap koperasi “sangat dipengaruhi oleh keterbukaan laporan dan sistem digital yang dapat diakses anggota.” Hal ini menunjukkan bahwa literasi keuangan dan kemampuan teknologi pengurus koperasi di nagari masih terbatas sehingga dana belum dikelola secara optimal.
- Tumpang Tindih Kelembagaan
Tumpang tindih peran antara Koperasi Merah Putih dan BUMNag terjadi di banyak nagari, terutama pada unit usaha perdagangan hasil pertanian dan jasa simpan-pinjam. Policy Brief DPR RI (2025) menyebutkan bahwa “ketidakjelasan pembagian peran antar lembaga desa merupakan hambatan struktural yang melemahkan efektivitas koperasi Merah Putih.” Penelitian Machasin et al. (2025) juga mengungkapkan bahwa koperasi di Indonesia kerap menghadapi “kelembagaan yang bertumpuk serta relasi kewenangan yang tidak jelas,” yang menghambat sinergi lembaga ekonomi lokal. Di Sumatera Barat, tumpang tindih ini menjadi lebih kompleks karena struktur nagari melibatkan banyak aktor: wali nagari, BUMNag, KAN, kelompok usaha, dan kini koperasi Merah Putih. Ketika unit usaha bersinggungan, konflik kepentingan tidak dapat dihindarkan.
- Keterbatasan Infrastruktur dan Pendampingan
Kendala infrastruktur digital juga memengaruhi operasional koperasi. Meski pemerintah menyediakan Sistem Informasi Koperasi Merah Putih, akses internet dan ketersediaan perangkat digital di banyak nagari masih terbatas.Journal of Cooperative Development and Innovation melaporkan bahwa koperasi pedesaan di Indonesia mengalami hambatan karena “akses internet yang tidak stabil, perangkat TI yang terbatas, serta rendahnya kemampuan digital pengurus” (JCDI, 2023). Demikian juga, Siswanto et al. (2025) mengungkap bahwa digitalisasi koperasi “tidak dapat berjalan optimal tanpa dukungan infrastruktur dasar dan pendampingan jangka panjang.” Di banyak nagari, pendampingan teknis masih bersifat sporadis dan tidak berkelanjutan, sehingga pengurus kesulitan mengadopsi sistem digital secara konsisten.
Potensi dan Harapan Koperasi Merah Putih
Koperasi Merah Putih memiliki potensi besar sebagai motor penggerak ekonomi berbasis masyarakat di Sumatera Barat. Dengan dukungan pendanaan dari APBN, APBD, dan APBDes, koperasi ini memiliki kapasitas untuk memperluas akses modal bagi masyarakat nagari yang sebelumnya terbatas. Program ini dirancang untuk menjalankan berbagai unit usaha seperti perdagangan sembako, layanan simpan pinjam, pengolahan hasil pertanian, logistik, hingga cold storage. Dukungan kelembagaan dari perbankan daerah seperti yang disampaikan Antara News (2024) bahwa Bank Nagari terlibat aktif dalam pembinaan dan pembiayaanmenunjukkan bahwa koperasi ini berpotensi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru yang mampu menghubungkan produk lokal dengan pasar yang lebih luas. Selain itu, Koperasi Merah Putih diharapkan menjadi solusi bagi fragmentasi lembaga ekonomi nagari. Kehadirannya dapat memperkuat sinergi antara BUMNag, koperasi konvensional, dan pelaku usaha kecil. Sebagai lembaga yang berbasis anggota namun didukung oleh pemerintah pusat, koperasi ini berpotensi menjadi jembatan yang mengintegrasikan sumber daya nagari ke dalam ekosistem ekonomi yang lebih terstruktur. Jika kolaborasi ini berjalan baik, BUMNag dapat fokus pada pengelolaan aset, sementara Koperasi Merah Putih menangani usaha produktif dan pembiayaan anggota, sehingga tercipta pembagian peran yang saling melengkapi.
Modernisasi tata kelola juga menjadi harapan utama dari program ini. Dengan adanya sistem pelaporan digital dan mekanisme pendampingan yang lebih terstruktur, Koperasi Merah Putih berpotensi mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan di tingkat nagari. Hal ini sejalan dengan temuan Refianto (2025) yang menekankan pentingnya sistem informasi dalam meningkatkan efektivitas manajemen koperasi. Jika implementasi digitalisasi berhasil diterapkan, koperasi di Sumatera Barat dapat menjadi model pengelolaan ekonomi rakyat yang lebih profesional dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.
Secara keseluruhan, potensi Koperasi Merah Putih terletak pada kemampuannya untuk menghadirkan struktur ekonomi nagari yang lebih kuat, inklusif, dan berdaya saing. Dengan memaksimalkan kolaborasi antar lembaga, meningkatkan kapasitas SDM, dan memperkuat sistem pengawasan, program ini diharapkan mampu mewujudkan visi kemandirian ekonomi masyarakat Minangkabau serta mengurangi ketergantungan pada bantuan pemerintah. Jika potensi tersebut dapat direalisasikan, Koperasi Merah Putih tidak hanya menjadi program administratif, tetapi dapat berkembang menjadi gerakan ekonomi rakyat yang berdampak nyata bagi kesejahteraan nagari di Sumatera Barat.
Kesimpulan
Koperasi Merah Putih merupakan program strategis pemerintah untuk memperkuat ekonomi masyarakat melalui koperasi berbasis nagari/kelurahan. Di Sumatera Barat, pembentukan koperasi telah terlaksana sepenuhnya, namun implementasi di lapangan masih menghadapi beragam tantangan. Kendala utama mencakup ketidaksiapan SDM, lemahnya transparansi dana, tumpang tindih peran dengan BUMNag, dan minimnya pendampingan serta infrastruktur digital. Meskipun demikian, potensi program ini sangat besar apabila didukung oleh tata kelola profesional, kolaborasi kelembagaan, dan penguatan kapasitas pengurus. Koperasi Merah Putih tidak seharusnya menjadi pesaing bagi BUMNag atau koperasi lokal, tetapi justru menjadi penguatan ekosistem ekonomi nagari. Dengan sinergi yang baik, program ini dapat menjadi motor kemandirian ekonomi Minangkabau dan mendorong terwujudnya pembangunan ekonomi yang inklusif di Sumatera Barat.
Daftar Pustaka
Antara News. (2024). Bank Nagari mendukung penguatan BUMNag di Sumbar. (2025). Prabowo teken Inpres Kopdes Merah Putih, koperasi didanai APBN dan APBD.
Dewi, M., & Sari, N. (2023). Pendirian BUMNag dalam pengelolaan aset nagari di Sumatera Barat. Universitas Andalas.
Fitria, D. (2022). Eksistensi BUMNag dalam meningkatkan pendapatan nagari di Kabupaten Tanah Datar. Universitas Negeri Padang.
Hariyono, A., Setiawan, B., & Nurjanah, R. (2024). Revitalization of passive village unit cooperatives in improving digital-based independent villages. Journal of Applied Human Economics, 5(1), 1–12.
Indriastuti, M., Fahmi, R., & Hidayat, R. (2025). Building public trust in cooperatives through digitalization. Journal of Management and Digital Business, 4(2), 55–66.Liputan6. (2024). Sumatera Barat capai 100% pembentukan koperasi desa Merah Putih.
Machasin, M., Putra, A., & Rahmat, T. (2025). Cooperatives in Indonesia: Roles, challenges, and innovations for the people’s economy. Journal of Administrative and Welfare Innovation, 3(1), 22–35.
Nurdany, F., & Prajasari, A. (2020). Digitalization in Indonesian cooperatives: Challenges and opportunities. Journal of Development Economics, 21(2), 8–15.
Policy Brief DPR RI. (2025). Koordinasi Implementasi Inpres No. 9 Tahun 2025. Sekretariat Jenderal DPR RI.
Rahmawati, L. (2023). Collaborative governance dalam pengelolaan BUMNag di Nagari Taram. Universitas Andalas.
Rakyat Sumbar. (2024). Koperasi Merah Putih jadi pilar ekonomi kerakyatan.
Refianto, E. (2025). Peran sistem informasi manajemen dalam implementasi Inpres 9/2025. Jurnal Manuhara, 19(1), 45–53.
Siswanto, A., Akbar, F., & Lestari, S. (2025). Cooperatives amid the industrial revolution 4.0: Opportunities and challenges for rural development. Journal of Islamic Economics and Finance, 7(1), 109–123.












