Oleh; Innaya Safitri
Departemen Ekonomi, Universitas Andalas
Otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk mampu membiayai sebagian besar kebutuhannya melalui pendapatan yang mereka kelola sendiri. Di Kota Yogyakarta, salah satu unsur terpenting dalam struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pajak daerah.
Berbeda dengan banyak daerah lain yang bertumpu pada industri atau sumber daya alam, Yogyakarta bertahan dengan kekuatan utamanya yaitu pariwisata.
Sebagai kota budaya, kota pelajar, dan destinasi wisata nasional, Yogyakarta menarik jutaan wisatawan setiap tahun. Kehadiran wisatawan ini memicu pertumbuhan pesat hotel, restoran, tempat hiburan, hingga bisnis kuliner. Karena itu, pajak yang bersumber dari aktivitas pariwisata menjadi fondasi yang menentukan arah fiskal kota.
Melihat kondisi tersebut, penting untuk mengkaji bagaimana penerimaan pajak berkembang, sejauh mana ia mencerminkan identitas kota wisata, serta tantangan yang mungkin dihadapi pada masa mendatang.
Pajak sebagai Penggerak PAD di Kota Wisata
Kontribusi terbesar PAD Kota Yogyakarta berasal dari pajak daerah, terutama pajak hotel, restoran, dan hiburan. Ketiga sektor ini berhubungan langsung dengan aktivitas wisata, sehingga kondisi pariwisata menentukan naik-turunnya penerimaan pajak.
Penelitian Darmanto et al. (2019) menunjukkan bahwa pajak hotel menyumbang antara 16 hingga 18 persen terhadap PAD. Angka tersebut menempatkan pajak hotel sebagai salah satu penyokong terkuat penerimaan daerah. Selama periode 2011–2015, Kota Yogyakarta mencatat peningkatan signifikan pada sektor akomodasi.
Jumlah hotel berbintang bertambah dari 20 menjadi 48, sedangkan kapasitas kamar naik dari 2.028 menjadi 4.815 unit. Lonjakan ini mencerminkan ekspansi industri perhotelan yang berlangsung cepat seiring besarnya arus wisatawan ke kota tersebut.
Temuan ini diperkuat oleh Purnamawati (2022) yang membuktikan bahwa pertumbuhan jumlah wisatawan berdampak langsung pada naiknya pajak hotel. Pajak hotel itu sendiri kemudian memberi kontribusi signifikan pada PAD. Dengan demikian, sektor pariwisata bukan hanya berpengaruh pada bisnis lokal, tetapi juga pada stabilitas fiskal daerah.
Potensi Besar namun Belum Menjadi Penerimaan Nyata
Penelitian Darmanto et al. (2019) menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang cukup mencolok antara potensi pendapatan pajak hotel dan jumlah yang benar-benar terkumpul. Dalam rentang 2011–2015, potensi penerimaan diperkirakan mencapai Rp 425,2 miliar. Namun, hanya sekitar Rp 335,5 miliar yang berhasil masuk ke kas daerah.
Dengan demikian, hampir Rp 89,69 miliar tidak dapat dimaksimalkan sebagai pendapatan resmi. Ketimpangan ini menegaskan bahwa kapasitas fiskal yang seharusnya bisa diraih jauh lebih besar dibandingkan realisasi yang tercatat.
Salah satu faktor yang menyebabkan selisih ini adalah belum optimalnya proses pemungutan pajak. Ketidakakuratan dalam pelaporan omzet serta lemahnya pengawasan transaksi membuat sebagian aktivitas ekonomi di sektor perhotelan tidak tercatat secara penuh. Akibatnya, geliat ekonomi yang terjadi di lapangan tidak seluruhnya terkonversi menjadi penerimaan daerah.
Keterbatasan sistem pemungutan ini juga tercermin dari tingkat efektivitas yang dicapai pada periode tersebut. Selama 2011–2015, efektivitas pemungutan hanya berada pada kisaran 66 hingga 90 persen dan seluruhnya dikategorikan tidak efektif. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun sektor perhotelan mengalami pertumbuhan, sistem fiskalnya belum mampu mengimbangi dinamika tersebut.
Pandemi dan Perubahan Pola Belanja Wisatawan
Pandemi COVID-19 menjadi momentum penting yang mengubah susunan penerimaan pajak daerah di Yogyakarta. Purnamawati (2022) mencatat bahwa pendapatan pajak hotel turun secara tajam seiring menurunnya jumlah wisatawan.
Sebaliknya, sektor restoran mengalami pemulihan yang lebih cepat, salah satunya karena meningkatnya layanan pesan antar dan tingginya minat terhadap kuliner lokal.
Temuan Rahmadhani (2025) kemudian memperjelas perubahan ini. Dalam penelitiannya, pajak restoran terbukti menjadi jenis pajak yang memberikan kontribusi positif dan stabil terhadap PAD. Sebaliknya, pajak hotel memperlihatkan hubungan negatif terhadap PAD, sehingga tidak lagi menjadi sumber pendapatan yang dapat sepenuhnya diandalkan. Pajak hiburan juga tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap PAD.
Perubahan tersebut mencerminkan bergesernya orientasi dan perilaku wisatawan setelah pandemi. Wisatawan kini lebih cenderung membelanjakan anggaran pada makanan, kedai kopi, dan aktivitas wisata kreatif, bukan pada akomodasi hotel konvensional. Selain itu, makin luasnya penggunaan homestay dan akomodasi non-hotel turut mengurangi potensi penerimaan dari sektor perhotelan. Tren ini menunjukkan bahwa struktur pajak daerah perlu menyesuaikan diri dengan pola konsumsi wisatawan yang baru.
Seberapa Jelas Identitas Kota Wisata Tercermin dalam Penerimaan Pajak?
1. Ketergantungan Tinggi pada Sektor Wisata
Penerimaan daerah di Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh dinamika kunjungan wisatawan. Ketika jumlah wisatawan meningkat, pendapatan daerah turut naik; namun saat kunjungan menurun, PAD langsung mengalami penurunan yang signifikan. Ketergantungan seperti ini membuat pendapatan daerah bersifat tidak stabil dan mudah terpengaruh gejolak eksternal.
2. Kinerja Pemungutan Pajak yang Belum Optimal
Meskipun sektor perhotelan memiliki potensi pendapatan yang besar, realisasi yang diterima pemerintah masih jauh dari jumlah ideal. Lemahnya pengawasan dan tidak seluruhnya aktivitas ekonomi tercatat dengan baik menyebabkan terjadinya kebocoran penerimaan. Kondisi ini mengakibatkan pajak hotel belum dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap PAD.
3. Pergeseran Perilaku Wisatawan
Pola konsumsi wisatawan telah mengalami pergeseran. Pengeluaran mereka tidak lagi dipusatkan pada akomodasi hotel, tetapi semakin banyak diarahkan pada kuliner, kafe, serta pengalaman wisata lainnya. Namun, struktur pajak daerah belum menyesuaikan diri dengan perubahan preferensi ini sehingga potensi penerimaan dari sektor-sektor yang berkembang belum termanfaatkan secara optimal.
Menuju Kemandirian Fiskal Daerah
Untuk memperkuat ketahanan fiskal dan mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal, Yogyakarta perlu menempuh sejumlah langkah strategis.
1. Memposisikan Pajak Restoran sebagai Sumber Andalan Baru
Berdasarkan berbagai temuan, pajak restoran menunjukkan kinerja yang lebih stabil dan memberikan kontribusi positif terhadap PAD. Keunggulan Yogyakarta di bidang kuliner menjadikan sektor ini sangat potensial sebagai penopang utama pendapatan daerah, terutama ketika pajak hotel semakin tidak konsisten.
2. Pembaruan Sistem Pemungutan Pajak
Modernisasi pemungutan pajak menjadi kebutuhan mendesak. Penerapan teknologi seperti tapping box, pelaporan transaksi secara langsung, dan pembayaran digital akan membantu menekan tingkat kebocoran serta memastikan transaksi ekonomi tercatat secara akurat. Langkah ini sekaligus memperkuat transparansi dan akuntabilitas fiskal daerah.
3. Diversifikasi Sumber Pendapatan di Luar Pariwisata
Untuk mengurangi ketergantungan pada sektor wisata, pemerintah perlu memperluas basis penerimaan ke sektor lain. Ekonomi kreatif, penyelenggaraan event, layanan parkir modern, serta optimalisasi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di area komersial dapat menjadi tambahan pendapatan yang lebih stabil dan tidak terlalu dipengaruhi fluktuasi jumlah wisatawan.
4. Menyiapkan Strategi Fiskal yang Responsif terhadap Krisis
Pengalaman selama pandemi menunjukkan perlunya perencanaan kontinjensi yang matang. Pemerintah daerah perlu memiliki skenario alternatif ketika terjadi gangguan pada sektor wisata agar PAD tetap dapat terjaga. Upaya ini penting untuk memastikan keberlanjutan layanan publik dan stabilitas fiskal.
Kesimpulan
Pertumbuhan pesat Yogyakarta sebagai destinasi wisata memang membawa manfaat ekonomi, tetapi sekaligus menciptakan ketergantungan fiskal yang tinggi. Potensi pajak hotel yang sebenarnya besar belum tergarap maksimal, sementara pola konsumsi wisatawan kini bergeser menuju sektor kuliner dan pengalaman wisata. Dengan memperkuat sektor-sektor yang sedang berkembang, meningkatkan kualitas pemungutan pajak, serta memperluas basis penerimaan di luar pariwisata, Yogyakarta memiliki peluang untuk membangun fondasi fiskal yang lebih kokoh dan tidak mudah terpengaruh krisis.
Referensi
Darmanto, D. D. A., Mulyanto, I. H., & Suratna, S. (2019). Potensi, Efektivitas Dan Kontribusi Pajak Hotel Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Yogyakarta. Paradigma: Jurnal Masalah Sosial, Politik, dan Kebijakan, 23(2), 416-433.
Purnamawati, A. (2022). Pajak Hotel Sebagai Pemediasi Pengaruh Jumlah Wisatawan dan Jumlah Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Riset Akuntansi dan Auditing.
Rahmadhani, D. (2025). Pengaruh pajak hotel, pajak hiburan, dan pajak restoran terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Yogyakarta tahun 2022–2024. (Tugas Akhir, Politeknik YKPN Yogyakarta).












