Opini

Ketika Akhlak di Ujung Senja: Tanda Bahaya Moral Remaja Tanah Datar

100
×

Ketika Akhlak di Ujung Senja: Tanda Bahaya Moral Remaja Tanah Datar

Sebarkan artikel ini

Oleh : Domi Kani (ibu rumah tangga dan wartawan bertugas di Tanah Datar)

Di Tanah Datar, daerah yang selama ini dikenal religius dan beradat, kini muncul gejala sosial yang membuat banyak orang tua dan pendidik menghela napas panjang. Dari taman hingga fasilitas umum, dari pojok sekolah hingga area publik, semakin sering terlihat dan terdengar kabar tentang perilaku remaja yang melampaui batas — berciuman, berpelukan, bahkan melakukan hubungan layaknya suami istri. Fenomena ini bukan sekadar aib moral, tapi cermin buram dari krisis bimbingan, perhatian, dan nilai.

Kita tidak bisa lagi berpura-pura bahwa ini sekadar “kenakalan remaja”. Ini adalah tanda darurat sosial — ketika generasi muda kehilangan arah di tengah banjir informasi dan minimnya kontrol moral di ruang nyata maupun maya.

Remaja Tanah Datar, yang seharusnya tumbuh dalam naungan nilai adat “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, justru mulai kehilangan pegangan moral yang menjadi jati diri daerah ini. Mereka tidak tiba-tiba menjadi “nakal”; mereka lahir dari sistem sosial yang abai.

Orang tua terlalu sibuk mengejar penghidupan, sekolah terlalu sibuk dengan kurikulum, dan lingkungan terlalu cepat menilai tanpa memberi ruang dialog. Di tengah kekosongan itulah, remaja mencari pelarian — perhatian palsu dari media sosial, kedekatan yang semu dari relasi tanpa arah, dan keberanian yang salah kaprah karena tidak ada yang mengarahkan.

Padahal, mereka bukan pelaku tunggal dari masalah ini — mereka juga korban dari kelalaian kolektif.

Sudah saatnya pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat adat tidak hanya bereaksi dengan razia dan amarah, tetapi membangun sistem pembinaan yang menyentuh akar persoalan: pendidikan karakter yang hidup, bukan hanya slogan; ruang ekspresi yang sehat, bukan sekadar larangan.

Kita semua harus duduk satu meja — membicarakan kembali bagaimana membentengi remaja dengan nilai luhur yang bersumber dari agama dan adat, bukan hanya dengan ceramah, tapi dengan keteladanan nyata dan ruang dialog terbuka.

Sebab, yang rusak bukan hanya perilaku, tapi arah masa depan.
Dan Tanah Datar, sebagai Luhak nan Tuo — tanah yang dulu menjadi sumber nilai dan teladan bagi Minangkabau — tidak boleh diam ketika generasinya kehilangan makna dari kata “malu”.

Kita tidak perlu menghakimi, tapi kita harus berani bertanya:
Di mana kita, saat anak-anak itu mencari contoh untuk ditiru?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *